BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 30 Desember 2010

Soal-soal filsafat agama

  1. jelaskan pengertian filsafat agama dan bedakan dengan teologi tradisional, liberal dan teologi naturalis?
  2. agama dan filsafat sama-sama menjadi instrument bagi umat manusia untuk mencari kebenaran, jelaskan persamaan dan perbedaan antara keduanya?
  3. ada 4 teori terkait dengan apa dan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yaitu: empirical realism, empirical idealism, rasional idealism dan rasional realism jelaskan masing-masing teori tersebut dan teori mana yang dianggap paling mendekati kebenaran?
  4. bagaimana dengan pengetahuan agama apabila didekati dengan menggunakan pendekatan rasional, jelaskan kebenaran Al-Qur'an sebaagi wahyu apabila dibuktikan dengan bukti ilmiah
  5. jelaskan dengan menggunakan bukti -bukti historis, argumen rasional dan pengalaman pribadi adanya pengetahuan keagamaan
  6. jelaskan konsep-onse tuhan dalam pandangan masyarakat primitif antara lain :dinamisme,animisme,politeisme,henotisme 
  7.  jelaskan konsep tuhan menurut theism rasional dengan menunjuk tokoh-tokoh dan pendapatnya?
  8. dalam islam tuhan disebut sebagai tuhan yang transenden dan sekaligus immanent, jelaskan dengan menunjuk ayat-ayat al-qur'an?
  9. bagaimana konsep tuhan menuru al-Ghazali, bandingkan dengan konsep tuhan menurrut St. Augustinis(kristen) dan Ibn Maimun atau Maimunides(yahudi)!
  10. jelaskan apa saja kontribusi positif dari konsep teisme bagi pemikiran dan kehidupan.
  11. apa yang saudara ketahui tentang deisme, jelaskan 4 macam tipe deisme dan jelaskan. bagaimana konsep tuhan menurut newton (1642-17270 dan thomas paine tentang tuhan
  12. dari konsep-konsep deisme yang ada, apa kelemahan-kelemahan dan kritik terhadap konsep deis sebutkan.
  13. bagaimana konsep tuhan dalam panteisme, sebutkan beberapa tokoh pantheisme dan kemukakan pendapatnya tentang tuhan dan alam.
  14. kemukakan kelebihan dan kelemahan konsep panteisme tentang tuhan
  15. jelaskan pandangan faham panenteisme tentang tuhan dan hubungannya dengan alam dan jelaskan pendapat para tokoh-tokohnya
  16. apa sumbangan pikiran yang bisa diambil dari panenteisme 

Jumat, 10 Desember 2010

KOENTJARANINGRAT: TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN STRUKTURALISME STRAUS

Suhermanto Ja’far
           
Teori fungsional struktural tentang kebudayaan dikemukakan oleh seorang antropolog kelahiran Polandia  bernama Bronislaw Malinowski. Dalam perjalanan intelektualnya,  ia banyak dipengaruhi oleh aliran behaviorisme dalam psikologi khususnya teori-teori tentang proses belajar. Akibatnya, ia mulai mengembangkan kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya teori fungsional tentang kebudayaan.
            Ia mengajukan suatu metode antropologi baru yang kemudian hari berkembang sangat pervasif. Ia mensyaratkan penguasaan bahasa lokal terhadap para peneliti lapangan supaya peneliti dapat memperoleh pengertian yang mendalam tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya.  Selain penguasaan bahasa,  para peneliti juga wajib melakukan observasi yang cermat dengan disiplin tinggi mencatat dalam buku harian. Apabila kesemuanya telah dijalankan dengan ketat, para peneliti diharapkan mampu menerangkan latar belakang dan fungsi dari adat tingkah laku manusia dan pranata-pranata sosial dalam masyarakat.
            Malinowski menjabarkan konsepnya tentang fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstaraksi: (1) fungsi sosial dari adat, pranata sosial fdan unsur kebudayaan dan pengaruhnya pada adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan yang lain dalam masyarakat (2) pengaruhnya pada kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan (3) pengaruhnya pada kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
            Malinowski menentang konsep ‘automatic spontaneous submission to tradition’ untuk menjelaskan bagaimana suatu masyarakat menjaga kestabilan sosialnya. Ia menerangkan bahwa berbagai macam sistem tukar menukar yang ada di masyarakat-lah yang merupakan daya pengikat dan daya gerak suatu masyarakat.
            Kebudayaan dari sudut pandang fungsionalisme dipandang sebagai aktivitas manusia yang dimaksudkan memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan keseluruhan kehidupannya. Kesenian, misalnya,  dipandang sebagai aktivitas manusia untuk memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan.
            Teori fungsionalisme struktural Malinowski berkembang dengan pesat dan memperoleh banyak penganut di kalangan antropolog. Mereka (para antropolog fungsionalisme struktural) antara lain: Radcliffe-Brown, Arthur Maurice Hocart, Evans Pritchard, Meyer Fortes, Raymond Firth, dll. Mereka tentu saja tidak menganutnya secara dogmatis, melainkan tetap mengadakan modifikasi di sana sini. Suatu hal yang pasti adalah mereka menganut asumsi-asumsi dasar Radcliffe Brown terutama tentang konsep fungsi sosial kebudayaan.
            Berbeda dengan fungsionalisme struktural yang memfokuskan diri pada materi (pemenuhan kebutuhan), strukturalisme lebih cenderung pada struktur kognitif manusia. Dengan kata lain strukturalisme lebih memfokuskan diri pada ideas. Pelopor aliran strukturalisme adalah seorang antropolog Prancis bernama C. Levi Strauss.
            Menurutnya, akal manusia selalu mencoba mencari antara dua ekstrem dalam suatu kontinuum, suatu keadaan antara yang dapat menghubungkan kedua ekstrem itu, karena mengandung ciri-ciri dari kedua-duanya. Struktur kognitif ini digambarkan dengan baik oleh Strauss dengan apa yang ia namakan segitiga kuliner. Segitiga kuliner menggambarkan bagaimana struktur kognitif menentukan pemahaman manusia  tentang realitas, seperti dicontohkan Strauss berupa makanan. Makanan terdiri dari tiga jenis, yaitu: lewat proses pemasakan, lewat proses fermentasi, dan makanan mentah. Akal manusia menerapkan struktur pada makanan bahwa ada yang bebas dari proses dan ada yang terkena proses. Makanan terkena proses  digolongkan lagi menjadi  dua ekstrem: makanan yang dimasak dan yang difermentasi. Makanan bebas proses merupakan golongan alam, dan yang terkena proses merupakan golongan kebudayaan.
            Antropologi strukturalisme berkeyakinan bahwa perangkat kognitif manusia selalu mengklaskan alam semesta dan masyarakat sekitarnya ke dalam beberapa kategori dasar. Cara yang paling elementer adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan yang bertentangan namun berelasi (oposisi biner). Manusia membagi alam menjadi dua golongan seperti: bumi/langit, hidup/maut, manusia/dewa, kerabat/orang luar, pria/ wanita, dll.
            Perbedaan Strauss dengan para antropolog fungsional seperti Radcliffe Brown, Malinowski, dkk adalah sebagai berikut: Kalau para sarjana tersebut menganggap struktur sosial sebagai suatu perumusan dari jaringan hubungan interaksi antar-manusia dalam masyarakat didapatkan dari abstraksi induktif dari data-data nyata, maka Strauss membalik proses tersebut Baginya, struktur terdapat di benak manusia  yang dianggap elementer dan oleh karena itu bersifat universal.

 
8
 
(Dilarang memperbanyak tulisan ini tanpa seijindosen pengampu)

GOODENAUGH: PROBLEMS IN THE CONCEPT OF CULTURE

KEESING: THEORIES OF CULTURES

Oleh: Suhermanto Ja’far

Banyak antropolog yang telah mencoba mendefinisikan kebudayaan. Permasalahannya adalah adanya anggapan bahwa kebudayaan semata-mata warisan dimana suatu masyarakat tertentu berbagi. Definisi tersebut tentu saja terlampau luas dan tidak meletakkan manusia pada porsi yang sebenarnya. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menyempitkan konsep kebudayaan yang terlampau luas tersebut.
Pemikiran tentang kebudayaan dapat dibagi menjadi empat domain: kebudayaan sebagai sistem adaptasi, kebudayaan sebagai sistem gagasan, kebudayaan sebagai struktur, dan kebudayaan sebagai sistem simbolik. sekarang ada baiknya kita kaji satu persatu dari keempat pemikiran tersebut.

Kebudayaan sebagai sistem adaptasi

Kebudayaan dipahami sebagai daya adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Pertemuan antara manusia dengan alam menghasilkan teknologi yang terutama diperuntukan demi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Pengetahuan yang dimiliki manusia bertitik tolak dari upaya manusia memanfaatkan alam. Pengetahuan tersebut berbeda-beda derajatnya tergantung dari tingkat kompleksitas kognitif manusia. Kebudayaan manusia ditentukan semata-mata oleh lingkungan sekitar manusia itu tinggal. Dari sudut pandang kebudayaan sebagai sistem adaptasi masyarakat pesisir dengan masyarakat pedalaman jelas akan memilki kebudayaan yang berbeda karena lingkungan mereka berbeda. Singkatnya, kebudayaan sebagai sistem adaptasi menganggap gagasan manusia merupakan cerminan dari lingkungan tempat ia tinggal.

Kebudayaan sebagai sistem gagasan

 Kebudayaan sebagai sistem kognitif

Kebudayaan dipahami sebagai sistem pengetahuan dimana kebudayaan bukan lagi dipandang sebagai fenomena materi yang terdiri dari benda-benda, manusia, perilaku, dan emosi. Kebudayaan lebih sebagai pengorganisasian materi-materi tersebut. ia adalah bentuk-bentuk ide dari materi yang ada di benak manusia yang menjadi model bagi mereka untuk mempersepsi, menghubungkan, dan menginterpretasi mereka. Kebudayaan sebagai sistem kognitif berada pada realm yang sama dengan bahasa. bahasa adalah subsistem dari kebudayaan, dan para peneliti dari antropologi kognitif telah berharap dan berasumsi bahwa metode linguistik akan cocok untuk diterapkan pada realm kebudayaan lainnya. Fokus para peneliti lebih pada sistem gagasan yang melatar belakangi suatu kebudayaan bukan lagi pada materi.
Kebudayaan sebagai struktur
Kebudayaan dipahami sebagai sistem simbolik bersama yang merupakan kreasi kumulatif  dari  pikiran. Para antropolog  strukturalis meyakini adanya struktur yang tetap a-historis yang melatarbelakangi berbagai kebudayaan yang amat bervariasi. Realitas eksternal (nature) tak pernah independen dari pikiran manusia. Pikiran manusia menerapkan struktur / pola formal yang sama (oposisi biner) pada realitas walau diwujudkan dalam wujud yang bisa bermacam-macam. 
Kebudayaan sebagai sistem simbolik
Kebudayaan dipahami sebagai unik, kaya makna, dan proses konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan tidak lagi dilihat sebagai struktur ataupun proses kognitif melainkan suatu teks. Manusia dipandang bukan lagi sebagai obyek dari kebudayaan melainkan agen yang aktif memaknai simbol-simbol seperti mitos, ritual danlain-lain. Pola-pola  kultural bukan lagi suatu sistem yang terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari aktif terlibat dalam sistem-sistem simbol. Sistem-sistem simbolik selalu berada pada konteks, ruang, dan waktu tertentu. Sistem-sistem simbolik merupakan suatu permainan bahasa yang unik dan tak pernah bisa diuniversalisasikan
            Secara singkat, kebudayaan sebagai sistem adaptasi (kebudayaan materi) memandang kebudayaan sebagai benda dimana diberlakukan keterukuran, pengamatan, dan keterbandingan. Materi diyakini mampu mengungkapkan perilaku manusia. Gagasan manusia tidak pernah bisa lepas dari praksis material. Sebaliknya, kebudayaan sebagai sistem gagasan meyakini kebudayaan tidak semata-mata sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan melainkan sebagai simbol. Simbol dimaksudkan bahwa tindakan manusia tidak semata-mata ditentukan oleh lingkungan khususnya pemenuhan kebutuhan. Tindakan manusia merupakan suatu yang khas dan unik. Proses pengungkapan makna suatu kebudayaan tidak bisa melalui pengamatan semata-mata melainkan interpretasi. Interpretasi merupakan metode yang digunakan oleh para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan
Kebudayaan sebagai sistem adaptasi mereduksi kebudayaan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia saja (subsisten). Ia melihat kebudayaan sebagai pengetahuan dan strategi mengenai lingkungan dan cara-cara memenuhi kebutuhan hidup darinya. Para antropolog kebudayaan materi menfokuskan perhatian pada sistem-sistem sosiokultural, bagaimana mereka terbentuk dan berubah.
            Penganut kebudayaan sebagai sistem gagasan menyebut kebudayaan materi (sistem adaptasi) sebagai reduksi kognitif. Hal itu disebabkan para antropolog kebudayaan materi mereduksi kognisi manusia semata-mata ditentukan oleh kebutuhan material. Walaupun demikian  kebudayaan sebagai sistem gagasan tetap memiliki masalah dan paradoks. Para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan masih menganggap bahwa pola-pola kultural terkristalisasi dalam suatu struktur sosial. Kebudayaan adalah pikiran, perllaku yang terinstitusionalisasi, terstandardisasi yang baik secara eksplisit maupun implisit individu-individu dalam suatu masyarakat cenderung menyesuaikan diri. Clifford Geertz Mengatakan bahwa kebudayaan terletak di antara individu dan bukan di benak individu.
Para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan masih melihat kebudayan sebagai suatu yang obyektif, institusional, dan kolektif. Kesalahan para antropolog tersebut menurut Keesing adalah melepaskan kebudayaan dari benak individu. Suatu makna  kultural bisa saja bersifat obyektif namun dalam kehidupan sehari-hari (lebenswelt) penafsiran individu terhadapnya bisa beragam. Makna sabung ayam di Bali  bisa saja bersifat kolektif, terlembaga, dan terstandardisasi, namun dalam kehidupan sehari-hari individu bisa saja menafsirkannya secara lain.
Keesing setuju dengan pendapat antropolog yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan. Namun demikian ia tetap tidak bisa menerima dilepaskannya suatu makna kultural dari kehidupan sehari-hari pelakunya. Ia mengingatkan bahwa para antropolog masih berkutat pada competence dan belum menyentuh performance kebudayaan. Ia menolak anggapan bahwa studi terhadap kebudayaan bisa dimurnikan (uncontaminated) dari studi sosiologis dan ekologis yang melatarbelakangi tindakan manusia.
3
 
 
(Dilarang memperbanyak tulisan ini tanpa seijindosen pengampu)