- Hal-hal yang fundamental dalam setiap agama.
- Apa gunanya agama bagi manusia
- Agama pada umumnya merupakan persepsi manusia itu sendiri terhadap ajaran yang tercermin didalam tradisi / kelompok
- Proses sejarah pembentukan agama yang awalnya Animisme dinamisme menjadi Tauhid
- Problem terhadap pemahaman wahyu
- Konflik perpecahan dalam agama baik intern maupun ekstern
- Merosotnya fungsi agama
- Kekerasan dalam agama
- Takdir baik, secara filosofis maupun teologis
- Ajaran dasar agama
- Poligami, poliandri
- kiyamat dan hari akhir
Selasa, 21 Juni 2011
Tema Diskusi Filsafat Agama 2
Diposting oleh LIMAPAN (Lingkar Mahasiswa AF 2008) di 17.56 0 komentar
Label: Filsafat Agama
Kamis, 30 Desember 2010
Soal-soal filsafat agama
- jelaskan pengertian filsafat agama dan bedakan dengan teologi tradisional, liberal dan teologi naturalis?
- agama dan filsafat sama-sama menjadi instrument bagi umat manusia untuk mencari kebenaran, jelaskan persamaan dan perbedaan antara keduanya?
- ada 4 teori terkait dengan apa dan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yaitu: empirical realism, empirical idealism, rasional idealism dan rasional realism jelaskan masing-masing teori tersebut dan teori mana yang dianggap paling mendekati kebenaran?
- bagaimana dengan pengetahuan agama apabila didekati dengan menggunakan pendekatan rasional, jelaskan kebenaran Al-Qur'an sebaagi wahyu apabila dibuktikan dengan bukti ilmiah
- jelaskan dengan menggunakan bukti -bukti historis, argumen rasional dan pengalaman pribadi adanya pengetahuan keagamaan
- jelaskan konsep-onse tuhan dalam pandangan masyarakat primitif antara lain :dinamisme,animisme,politeisme,henotisme
- jelaskan konsep tuhan menurut theism rasional dengan menunjuk tokoh-tokoh dan pendapatnya?
- dalam islam tuhan disebut sebagai tuhan yang transenden dan sekaligus immanent, jelaskan dengan menunjuk ayat-ayat al-qur'an?
- bagaimana konsep tuhan menuru al-Ghazali, bandingkan dengan konsep tuhan menurrut St. Augustinis(kristen) dan Ibn Maimun atau Maimunides(yahudi)!
- jelaskan apa saja kontribusi positif dari konsep teisme bagi pemikiran dan kehidupan.
- apa yang saudara ketahui tentang deisme, jelaskan 4 macam tipe deisme dan jelaskan. bagaimana konsep tuhan menurut newton (1642-17270 dan thomas paine tentang tuhan
- dari konsep-konsep deisme yang ada, apa kelemahan-kelemahan dan kritik terhadap konsep deis sebutkan.
- bagaimana konsep tuhan dalam panteisme, sebutkan beberapa tokoh pantheisme dan kemukakan pendapatnya tentang tuhan dan alam.
- kemukakan kelebihan dan kelemahan konsep panteisme tentang tuhan
- jelaskan pandangan faham panenteisme tentang tuhan dan hubungannya dengan alam dan jelaskan pendapat para tokoh-tokohnya
- apa sumbangan pikiran yang bisa diambil dari panenteisme
Diposting oleh LIMAPAN (Lingkar Mahasiswa AF 2008) di 01.16 0 komentar
Label: Filsafat Agama
Jumat, 10 Desember 2010
KOENTJARANINGRAT: TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN STRUKTURALISME STRAUS
Suhermanto Ja’far
Teori fungsional struktural tentang kebudayaan dikemukakan oleh seorang antropolog kelahiran Polandia bernama Bronislaw Malinowski. Dalam perjalanan intelektualnya, ia banyak dipengaruhi oleh aliran behaviorisme dalam psikologi khususnya teori-teori tentang proses belajar. Akibatnya, ia mulai mengembangkan kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya teori fungsional tentang kebudayaan.
Ia mengajukan suatu metode antropologi baru yang kemudian hari berkembang sangat pervasif. Ia mensyaratkan penguasaan bahasa lokal terhadap para peneliti lapangan supaya peneliti dapat memperoleh pengertian yang mendalam tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya. Selain penguasaan bahasa, para peneliti juga wajib melakukan observasi yang cermat dengan disiplin tinggi mencatat dalam buku harian. Apabila kesemuanya telah dijalankan dengan ketat, para peneliti diharapkan mampu menerangkan latar belakang dan fungsi dari adat tingkah laku manusia dan pranata-pranata sosial dalam masyarakat.
Malinowski menjabarkan konsepnya tentang fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstaraksi: (1) fungsi sosial dari adat, pranata sosial fdan unsur kebudayaan dan pengaruhnya pada adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan yang lain dalam masyarakat (2) pengaruhnya pada kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan (3) pengaruhnya pada kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Malinowski menentang konsep ‘automatic spontaneous submission to tradition’ untuk menjelaskan bagaimana suatu masyarakat menjaga kestabilan sosialnya. Ia menerangkan bahwa berbagai macam sistem tukar menukar yang ada di masyarakat-lah yang merupakan daya pengikat dan daya gerak suatu masyarakat.
Kebudayaan dari sudut pandang fungsionalisme dipandang sebagai aktivitas manusia yang dimaksudkan memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan keseluruhan kehidupannya. Kesenian, misalnya, dipandang sebagai aktivitas manusia untuk memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan.
Teori fungsionalisme struktural Malinowski berkembang dengan pesat dan memperoleh banyak penganut di kalangan antropolog. Mereka (para antropolog fungsionalisme struktural) antara lain: Radcliffe-Brown, Arthur Maurice Hocart, Evans Pritchard, Meyer Fortes, Raymond Firth, dll. Mereka tentu saja tidak menganutnya secara dogmatis, melainkan tetap mengadakan modifikasi di sana sini. Suatu hal yang pasti adalah mereka menganut asumsi-asumsi dasar Radcliffe Brown terutama tentang konsep fungsi sosial kebudayaan.
Berbeda dengan fungsionalisme struktural yang memfokuskan diri pada materi (pemenuhan kebutuhan), strukturalisme lebih cenderung pada struktur kognitif manusia. Dengan kata lain strukturalisme lebih memfokuskan diri pada ideas. Pelopor aliran strukturalisme adalah seorang antropolog Prancis bernama C. Levi Strauss.
Menurutnya, akal manusia selalu mencoba mencari antara dua ekstrem dalam suatu kontinuum, suatu keadaan antara yang dapat menghubungkan kedua ekstrem itu, karena mengandung ciri-ciri dari kedua-duanya. Struktur kognitif ini digambarkan dengan baik oleh Strauss dengan apa yang ia namakan segitiga kuliner. Segitiga kuliner menggambarkan bagaimana struktur kognitif menentukan pemahaman manusia tentang realitas, seperti dicontohkan Strauss berupa makanan. Makanan terdiri dari tiga jenis, yaitu: lewat proses pemasakan, lewat proses fermentasi, dan makanan mentah. Akal manusia menerapkan struktur pada makanan bahwa ada yang bebas dari proses dan ada yang terkena proses. Makanan terkena proses digolongkan lagi menjadi dua ekstrem: makanan yang dimasak dan yang difermentasi. Makanan bebas proses merupakan golongan alam, dan yang terkena proses merupakan golongan kebudayaan.
Antropologi strukturalisme berkeyakinan bahwa perangkat kognitif manusia selalu mengklaskan alam semesta dan masyarakat sekitarnya ke dalam beberapa kategori dasar. Cara yang paling elementer adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan yang bertentangan namun berelasi (oposisi biner). Manusia membagi alam menjadi dua golongan seperti: bumi/langit, hidup/maut, manusia/dewa, kerabat/orang luar, pria/ wanita, dll.
Perbedaan Strauss dengan para antropolog fungsional seperti Radcliffe Brown, Malinowski, dkk adalah sebagai berikut: Kalau para sarjana tersebut menganggap struktur sosial sebagai suatu perumusan dari jaringan hubungan interaksi antar-manusia dalam masyarakat didapatkan dari abstraksi induktif dari data-data nyata, maka Strauss membalik proses tersebut Baginya, struktur terdapat di benak manusia yang dianggap elementer dan oleh karena itu bersifat universal.
|
Diposting oleh LIMAPAN (Lingkar Mahasiswa AF 2008) di 11.47 0 komentar
Label: Filsafat Kebudayaan
GOODENAUGH: PROBLEMS IN THE CONCEPT OF CULTURE
Diposting oleh LIMAPAN (Lingkar Mahasiswa AF 2008) di 11.41 0 komentar
Label: Filsafat Kebudayaan
KEESING: THEORIES OF CULTURES
Oleh: Suhermanto Ja’far
Banyak antropolog yang telah mencoba mendefinisikan kebudayaan. Permasalahannya adalah adanya anggapan bahwa kebudayaan semata-mata warisan dimana suatu masyarakat tertentu berbagi. Definisi tersebut tentu saja terlampau luas dan tidak meletakkan manusia pada porsi yang sebenarnya. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menyempitkan konsep kebudayaan yang terlampau luas tersebut.
Pemikiran tentang kebudayaan dapat dibagi menjadi empat domain: kebudayaan sebagai sistem adaptasi, kebudayaan sebagai sistem gagasan, kebudayaan sebagai struktur, dan kebudayaan sebagai sistem simbolik. sekarang ada baiknya kita kaji satu persatu dari keempat pemikiran tersebut.
Kebudayaan sebagai sistem adaptasi
Kebudayaan dipahami sebagai daya adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Pertemuan antara manusia dengan alam menghasilkan teknologi yang terutama diperuntukan demi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Pengetahuan yang dimiliki manusia bertitik tolak dari upaya manusia memanfaatkan alam. Pengetahuan tersebut berbeda-beda derajatnya tergantung dari tingkat kompleksitas kognitif manusia. Kebudayaan manusia ditentukan semata-mata oleh lingkungan sekitar manusia itu tinggal. Dari sudut pandang kebudayaan sebagai sistem adaptasi masyarakat pesisir dengan masyarakat pedalaman jelas akan memilki kebudayaan yang berbeda karena lingkungan mereka berbeda. Singkatnya, kebudayaan sebagai sistem adaptasi menganggap gagasan manusia merupakan cerminan dari lingkungan tempat ia tinggal.
Kebudayaan sebagai sistem gagasan
Kebudayaan sebagai sistem kognitif
Kebudayaan dipahami sebagai sistem pengetahuan dimana kebudayaan bukan lagi dipandang sebagai fenomena materi yang terdiri dari benda-benda, manusia, perilaku, dan emosi. Kebudayaan lebih sebagai pengorganisasian materi-materi tersebut. ia adalah bentuk-bentuk ide dari materi yang ada di benak manusia yang menjadi model bagi mereka untuk mempersepsi, menghubungkan, dan menginterpretasi mereka. Kebudayaan sebagai sistem kognitif berada pada realm yang sama dengan bahasa. bahasa adalah subsistem dari kebudayaan, dan para peneliti dari antropologi kognitif telah berharap dan berasumsi bahwa metode linguistik akan cocok untuk diterapkan pada realm kebudayaan lainnya. Fokus para peneliti lebih pada sistem gagasan yang melatar belakangi suatu kebudayaan bukan lagi pada materi.
Kebudayaan sebagai struktur
Kebudayaan dipahami sebagai sistem simbolik bersama yang merupakan kreasi kumulatif dari pikiran. Para antropolog strukturalis meyakini adanya struktur yang tetap a-historis yang melatarbelakangi berbagai kebudayaan yang amat bervariasi. Realitas eksternal (nature) tak pernah independen dari pikiran manusia. Pikiran manusia menerapkan struktur / pola formal yang sama (oposisi biner) pada realitas walau diwujudkan dalam wujud yang bisa bermacam-macam.
Kebudayaan sebagai sistem simbolik
Kebudayaan dipahami sebagai unik, kaya makna, dan proses konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan tidak lagi dilihat sebagai struktur ataupun proses kognitif melainkan suatu teks. Manusia dipandang bukan lagi sebagai obyek dari kebudayaan melainkan agen yang aktif memaknai simbol-simbol seperti mitos, ritual danlain-lain. Pola-pola kultural bukan lagi suatu sistem yang terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari aktif terlibat dalam sistem-sistem simbol. Sistem-sistem simbolik selalu berada pada konteks, ruang, dan waktu tertentu. Sistem-sistem simbolik merupakan suatu permainan bahasa yang unik dan tak pernah bisa diuniversalisasikan
Secara singkat, kebudayaan sebagai sistem adaptasi (kebudayaan materi) memandang kebudayaan sebagai benda dimana diberlakukan keterukuran, pengamatan, dan keterbandingan. Materi diyakini mampu mengungkapkan perilaku manusia. Gagasan manusia tidak pernah bisa lepas dari praksis material. Sebaliknya, kebudayaan sebagai sistem gagasan meyakini kebudayaan tidak semata-mata sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan melainkan sebagai simbol. Simbol dimaksudkan bahwa tindakan manusia tidak semata-mata ditentukan oleh lingkungan khususnya pemenuhan kebutuhan. Tindakan manusia merupakan suatu yang khas dan unik. Proses pengungkapan makna suatu kebudayaan tidak bisa melalui pengamatan semata-mata melainkan interpretasi. Interpretasi merupakan metode yang digunakan oleh para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan
Kebudayaan sebagai sistem adaptasi mereduksi kebudayaan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia saja (subsisten). Ia melihat kebudayaan sebagai pengetahuan dan strategi mengenai lingkungan dan cara-cara memenuhi kebutuhan hidup darinya. Para antropolog kebudayaan materi menfokuskan perhatian pada sistem-sistem sosiokultural, bagaimana mereka terbentuk dan berubah.
Penganut kebudayaan sebagai sistem gagasan menyebut kebudayaan materi (sistem adaptasi) sebagai reduksi kognitif. Hal itu disebabkan para antropolog kebudayaan materi mereduksi kognisi manusia semata-mata ditentukan oleh kebutuhan material. Walaupun demikian kebudayaan sebagai sistem gagasan tetap memiliki masalah dan paradoks. Para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan masih menganggap bahwa pola-pola kultural terkristalisasi dalam suatu struktur sosial. Kebudayaan adalah pikiran, perllaku yang terinstitusionalisasi, terstandardisasi yang baik secara eksplisit maupun implisit individu-individu dalam suatu masyarakat cenderung menyesuaikan diri. Clifford Geertz Mengatakan bahwa kebudayaan terletak di antara individu dan bukan di benak individu.
Keesing setuju dengan pendapat antropolog yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan. Namun demikian ia tetap tidak bisa menerima dilepaskannya suatu makna kultural dari kehidupan sehari-hari pelakunya. Ia mengingatkan bahwa para antropolog masih berkutat pada competence dan belum menyentuh performance kebudayaan. Ia menolak anggapan bahwa studi terhadap kebudayaan bisa dimurnikan (uncontaminated) dari studi sosiologis dan ekologis yang melatarbelakangi tindakan manusia.
|
(Dilarang memperbanyak tulisan ini tanpa seijindosen pengampu)
Diposting oleh LIMAPAN (Lingkar Mahasiswa AF 2008) di 11.26 0 komentar
Label: Filsafat Kebudayaan
Sabtu, 27 November 2010
KEDUDUKAN NILAI
oleh : Mochamad Ak Doni
Pendahuluan
Nilai merupakan suatu hal yang abstrak dan sulit ketika diungkapkan dengan kata-kata. Dalam berbagai literatur yang membahas filsafat nilai, seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan gambaran konkrit bentuk nilai. Namun ketika usaha mendiskripsikan nilai dikaitkan dengan fakta empiris akan mendapat kemudahan untuk menangkap nilai.
Pada perkembangannya pembahasan tentang nilai mendapatkan pendamping keilmuan yang khusus mempelajari hakikat nilai, yaitu aksiologi (lebih dikenal filsafat nilai). Filsafat nilai yang bertujuan mengurai tentang hakikat nilai, melakukan eksplorasi keilmuan khusus lainnya yang berkaitan dengan nilai. Seperti, ekonomi, estetika, etika, filsafat agama, dan epistemologi. Yang mana epistemologi lebih terkait dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Dari orientasi sekilas tentang perkembangan pembahasan nilai diatas menjadi sangat layak untuk mengetahui kedudukan nilai diantara kehidupan yang berjalan. Karena dengan mengetahui kedudukan nilai akan membantu kita dalam memahami nilai. Sehingga pemakalah mencoba sedikit melacak kedudukan nilai dengan tiga pemetaan; (1)manusia dengan nilai, (2)kebudayaan dengan nilai, (3)fakta dengan nilai.
Manusia – Nilai
Membahas tentang manusia akan membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan sampai matipun pembahasan manusia belum pasti tuntas. Kompleksitas manusia menjadikan kerumitan tersendiri dalam memahami manusia. Sehingga kefokusan pembahasan tetang manusia kali ini lebih pada keterkaitannya dengan nilai.
Manusia dalam merespon sekitarnya terdapat banyak konsepsi dan tindakan. Hal ini menyesuaikan dengan keadaan manusia yang menjadi faktor berpengaruh dalam pembentukan konsep atau memutuskan tindakan. Pada level lebih jauh lagi manusia akan menciptakan kaidah-kaidah kehidupan yang pada proses interaksi dengan sesama manusia akan menjadi kaidah bersama.
Moral dan etika selalu melekat pada pembahasan tentang mansia. Dua hal ini terkait langsung dengan tindak manusia. Moral dan etika menjadi sebuah dasar manusia bertindak. Sehingga ada konsekuensi yang muncul dengan penyebutan “manusia yang baik” (punya moral dan etika). Pemberian sebutan ini adalah bagian dari perwujudan nilai melalui pemberian nilai dari manusia yang satu kepada manusia lainya. Kata “baik” menjadi sebuah penghargaan yang diberikan karena kehidupan manusia yang mempunyai moral dan bertindak etis.
Moral dan etika yang dijadikan sebagai pagar pembatas antara wilayah baik dan buruk. Keberadaan ini ketika dikaitkan dengan sifat sosial manusia, akan mewujudkan regenerasi. Dengan kemampuan manusia berbahasa dan mewariskan nilai luhur ini akan mebentuk sebuah kebiasaan yang pada akhirnya menjadi kebudayaan.
Kebudayaan – Nilai
Lahirnya kebudayaan bagaikan sebuah proses metamorfosis dari kepompong yang melahirkan ulat kemudian bersayap menjadi kupu-kupu. Dari suatu keadaan yang lemah dalam keterkungkungan menjadi bergerak dengan bebas untuk menumbuhkan bunga-bunga kemajuan hidup manusia.
Lebih kompleks kebudayaan ada dengan berbagai yang menyempurnakan didalamnya, seperti bahasa, moral, etika, yang berasal dari konsensus kelompok masyarakat. Melalui bahasa manusia bisa berkomunikasi dengan sesamanya, dilanjutkan dengan penyesuaian antar manusia dalam memahami moral dan etika bersama. Kesepakatan antar manusia ini menjadi titik penting terbentuknya kebudayaan. Seperti pembahasan menngenai manusia dan nilai, kedudukan nilai dalam kebudayaan juga nampak, karena moral dan etika dalam kebudayaan adalah bagian dari nilai. Hai ini dapat dibuktikan melalui fakta empiris di sekitar kita.
Fakta – Nilai
Fakta merupakan kejadian nyata yang timbul dari serangkaian aktivitas manusia. Interaksi manusia dengan lingkungan menghasilkan fakta. Begitu juga interaksi manusia dengan manusia bisa menjadi fakta.
Dalam memahami fakta untuk mengetahui kedudukan nilai didalamnya, lebih mudah dalam mendiskripsikan dengan sebuah kalimat “gunung merapi meletus menyebabkan perekonomian Yogyakarta memburuk”. Kalimat tersebut menyebutkan sebuah fakta yang terjadi belakangan ini, dan di dalam fakta tersebut terdapat nilai buruk dalam bidang perekonomian. Begitu juga dengan berbagai fakta lainnya, meskipun beragam sudut pandang tetapi selalu bermuatan nilai.
Kesimpulan
Manusia sebagai pelaku nilai, pemeberi nilai ataupun diberi. Atau dengan kata lain manusia menjadi subyek sekaligus obyek atas nilai. Manusia dalam menjalani kehidupannya yang dengan senantiasa menjunjung nilai luhur menghasilkan sebuah kaidah-kaidah kehidupan yang menjadi pedoman, seperti moral dan etika.
Dan dalam perkembangannya kebutuhan manusia beinteraksi dengan bermula bahasa yang disepakati untuk berkomunikasi menjalar pada kesepakatan tentang ide-ide pedoman hidup. Sehingga pada perkembangannya fakta yang terjadi selalu bermuatan nilai meski berbagai sudut pandang cara menaggapinya.
Nilai merupakan suatu hal yang abstrak dan sulit ketika diungkapkan dengan kata-kata. Dalam berbagai literatur yang membahas filsafat nilai, seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan gambaran konkrit bentuk nilai. Namun ketika usaha mendiskripsikan nilai dikaitkan dengan fakta empiris akan mendapat kemudahan untuk menangkap nilai.
Pada perkembangannya pembahasan tentang nilai mendapatkan pendamping keilmuan yang khusus mempelajari hakikat nilai, yaitu aksiologi (lebih dikenal filsafat nilai). Filsafat nilai yang bertujuan mengurai tentang hakikat nilai, melakukan eksplorasi keilmuan khusus lainnya yang berkaitan dengan nilai. Seperti, ekonomi, estetika, etika, filsafat agama, dan epistemologi. Yang mana epistemologi lebih terkait dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Dari orientasi sekilas tentang perkembangan pembahasan nilai diatas menjadi sangat layak untuk mengetahui kedudukan nilai diantara kehidupan yang berjalan. Karena dengan mengetahui kedudukan nilai akan membantu kita dalam memahami nilai. Sehingga pemakalah mencoba sedikit melacak kedudukan nilai dengan tiga pemetaan; (1)manusia dengan nilai, (2)kebudayaan dengan nilai, (3)fakta dengan nilai.
Manusia – Nilai
Membahas tentang manusia akan membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan sampai matipun pembahasan manusia belum pasti tuntas. Kompleksitas manusia menjadikan kerumitan tersendiri dalam memahami manusia. Sehingga kefokusan pembahasan tetang manusia kali ini lebih pada keterkaitannya dengan nilai.
Manusia dalam merespon sekitarnya terdapat banyak konsepsi dan tindakan. Hal ini menyesuaikan dengan keadaan manusia yang menjadi faktor berpengaruh dalam pembentukan konsep atau memutuskan tindakan. Pada level lebih jauh lagi manusia akan menciptakan kaidah-kaidah kehidupan yang pada proses interaksi dengan sesama manusia akan menjadi kaidah bersama.
Moral dan etika selalu melekat pada pembahasan tentang mansia. Dua hal ini terkait langsung dengan tindak manusia. Moral dan etika menjadi sebuah dasar manusia bertindak. Sehingga ada konsekuensi yang muncul dengan penyebutan “manusia yang baik” (punya moral dan etika). Pemberian sebutan ini adalah bagian dari perwujudan nilai melalui pemberian nilai dari manusia yang satu kepada manusia lainya. Kata “baik” menjadi sebuah penghargaan yang diberikan karena kehidupan manusia yang mempunyai moral dan bertindak etis.
Moral dan etika yang dijadikan sebagai pagar pembatas antara wilayah baik dan buruk. Keberadaan ini ketika dikaitkan dengan sifat sosial manusia, akan mewujudkan regenerasi. Dengan kemampuan manusia berbahasa dan mewariskan nilai luhur ini akan mebentuk sebuah kebiasaan yang pada akhirnya menjadi kebudayaan.
Kebudayaan – Nilai
Lahirnya kebudayaan bagaikan sebuah proses metamorfosis dari kepompong yang melahirkan ulat kemudian bersayap menjadi kupu-kupu. Dari suatu keadaan yang lemah dalam keterkungkungan menjadi bergerak dengan bebas untuk menumbuhkan bunga-bunga kemajuan hidup manusia.
Lebih kompleks kebudayaan ada dengan berbagai yang menyempurnakan didalamnya, seperti bahasa, moral, etika, yang berasal dari konsensus kelompok masyarakat. Melalui bahasa manusia bisa berkomunikasi dengan sesamanya, dilanjutkan dengan penyesuaian antar manusia dalam memahami moral dan etika bersama. Kesepakatan antar manusia ini menjadi titik penting terbentuknya kebudayaan. Seperti pembahasan menngenai manusia dan nilai, kedudukan nilai dalam kebudayaan juga nampak, karena moral dan etika dalam kebudayaan adalah bagian dari nilai. Hai ini dapat dibuktikan melalui fakta empiris di sekitar kita.
Fakta – Nilai
Fakta merupakan kejadian nyata yang timbul dari serangkaian aktivitas manusia. Interaksi manusia dengan lingkungan menghasilkan fakta. Begitu juga interaksi manusia dengan manusia bisa menjadi fakta.
Dalam memahami fakta untuk mengetahui kedudukan nilai didalamnya, lebih mudah dalam mendiskripsikan dengan sebuah kalimat “gunung merapi meletus menyebabkan perekonomian Yogyakarta memburuk”. Kalimat tersebut menyebutkan sebuah fakta yang terjadi belakangan ini, dan di dalam fakta tersebut terdapat nilai buruk dalam bidang perekonomian. Begitu juga dengan berbagai fakta lainnya, meskipun beragam sudut pandang tetapi selalu bermuatan nilai.
Kesimpulan
Manusia sebagai pelaku nilai, pemeberi nilai ataupun diberi. Atau dengan kata lain manusia menjadi subyek sekaligus obyek atas nilai. Manusia dalam menjalani kehidupannya yang dengan senantiasa menjunjung nilai luhur menghasilkan sebuah kaidah-kaidah kehidupan yang menjadi pedoman, seperti moral dan etika.
Dan dalam perkembangannya kebutuhan manusia beinteraksi dengan bermula bahasa yang disepakati untuk berkomunikasi menjalar pada kesepakatan tentang ide-ide pedoman hidup. Sehingga pada perkembangannya fakta yang terjadi selalu bermuatan nilai meski berbagai sudut pandang cara menaggapinya.
Diposting oleh LIMAPAN (Lingkar Mahasiswa AF 2008) di 09.37 0 komentar
Label: Filsafat Nilai
Kamis, 14 Oktober 2010
Langganan:
Postingan (Atom)