BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 14 Juni 2010

Dinamika Jiwa


By : Afandi ft Faricha


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Al-Quran al-karim mempunyai pengaruh yang besar bagi para sufi dalam analisanya tentang jiwa manusia. Para sufi menjadikan al-Quran sebagai pedoman untuk mengetahui tentang jiwa. Didalam al-Quran terdapat kata an-nafs yang mempunyai beberapa makna diantarnya adalah, ’Manusia sebagai mahkluk hidup’, ‘hakikat sesuatu’, dan bisa bermakna ‘dzat ilahiyah’.
Dalam al-Quran kata an-nafs yang mengandung arti manusia terdapat pada surat al-Maidah ayat 32
Artinya:’’barang siapa membunuh orang seseorang, dimana (orang tersebut) tidak membunuh orang lain atau tidak berbuat kerusakan dimuka bumi, maka ia seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya’’. Sedangkan an-nafs yang berarti dzat ilahiyah terdapat dalam surat Thaha ayat 41 Artinya: ‘’dan aku (Allah) telah memilihmu untuk diri-ku’’. Kata an-nafs dapat juga berarti satu asal keturunan manusia, seperti yang dicantumkan dalam surat an-Nisa ayat 1
Artinya: ‘’hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhan-muyang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-naya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silahturahim. Sesungguhnya Allah telah menjaga dan mengawasi mu’’
Dalam kaitannya dengan berbagi arti jiwa yang telah dipaparkan diatas, Rasullah s.aw bersabda yang artinya: ‘’sesuatu yang paling aku takuti adalah mengikuti hawa nafsu, panjang angan. Adapun mengikuti hawa nafsu yang dimaksud disini adalah akan menutupi kebenaran (al-haq), sedangkan panjang angan ynag dimaksud adalah apabila seseorang memeliki panjang angan maka ia cenderung untuk melupakan akhirat’’. (HR. Ibnu ‘Adi dari Jbir dengan dhai’f)
Menurut pandangan kaum sufi menentang hawa nafsu merupakan suatu induk ibadah. Beberapa tokoh ketika ditanya mengenai ‘Islam’, maka mereka menjawab: bahwa yang dinamakna dengan Islam adalah menyembelih jiwa dengan pedang penetang.
Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa al-Quran sebagai pedoman para sufi dalam menganalisa tentang jiwa manusia. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara para filosof dan para sufi dalam studi tentang jiwa. Para filosof dalam studi tentang jiwa hanya sebatas analisa akal dan logika, sedangkan para sufi dalam studi tentang jiwa nenambahkan akal murni tersebut dengan agama. Maka, apabila para filosof mengatakan bahwa distributor didalam jiwa mausia adalah akal, maka para sufi mengatakan bahwa distributor di dalam jiwa manusia adalah akal dan al wijdan. Atas dasar inilah para sufi dalam analisanya mengenai jiwa lebih menekankan kepada persoalan dan perilaku.

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Jiwa Menurut Para Sufi
Beberapa sufi mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian jiwa manusia. Al-Hakim At-Tirmidzi, salah satu sufi terkenal pada abad ke III H, memberikan pengertian tentang jiwa manusia sebagai berikut: ‘’Jiwa merupakan bumi syahwat, cenderung kepada syahwat setelah melakukan syahwat, dan harapan setelah melakukan harapan. Jiwa tidak pernah tenang dan tak pernah diam, perbuatan-perbuatannya selalu berbeda, dimana perbuatan yang satu dengan yang lain tidak sama, terkadang jiwa berupa ‘ubudiyah dan terkadang berupa rububiyah, dan pada saat yang lain jiwa berlagak menyerah, dan pada suatu saat bersifat ingin memiliki. Dan terkadang jiwa juga bersifat lemah , dan terkadang disaat yang lain jiwa seakan memiliki kekuatan. Akan tetapi apabila jiwa dilatih, niscaya pasti akan bisa diarahkan.
Abu Yazid Al-Busthami mengatakan ‘’seseorang tidak akan mengenal jiwanya apabila dirinya ditemani oleh syahwat’’. Al-Kharraz mengatakan ‘’jiwa itu bagaikan air tergenang, suci dan bersih. Apabila air itu digerakan maka akan tampak kotoran yang berada dibagian dasarnya. Sama halnya dengan jiwa, ia akan tampak apabila diuji, apakah jiwa itu sabar atau menentang? Barang siapa tidak mengenal jiwanya, bagaimana ia mengenal Rabbnya?
Al Junaidi berkata ‘’sesungguhnya apabila jiwa meminta sesuatu kepadamu,maka ia akan memaksamu dan menuntut sampai kapan pun, sehingga ia berhasil. Kecuali jika jiwa tetap berada didalam Al Mujahadah sampai jiwa itu terbiasa dengan kejujuran dan Al Mujahadah.
Sifat Dan Karakter Jiwa Menurut Sufi
Menurut Al-Hujuwairi, kaum sufi sepakat bahwa jiwa merupakan sumber kejahatan dan sarang dari keburukan. Namun walaupun demikian masih ada sekelompok sufi yang berpendapat bahwa jiwa itu merupakan substansi yang independen, dimana pada suatu ketika berlagak seperti ruh dan pada saat yang lain berlagak sebagai substansi yang memberi kehidupan. Akan tetapi mayoritas sufi mengatakan bahwa jiwa merupakan sumber dan penyebab timbulnya akhlak yang tercela serta prilaku-prilaku yang hina atau perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan tercela.
Perilaku maksiat menurut mereka dapat dihilangkan dengan banyak melakukan latihan (ar-riyadhah) dengan jalan bertaubat. Maksiat merupakan indikasi akhlak lahiriyah yang tercela. Sedangkan sifat-sifat diatas merupakan indikasi batiniah dari prilaku jiwa yang rendah. Segala yang tersirat didalam batin manusia akan timbul kepermukaan seperti prilaku batin yang tercela akan keluar dalam bentuk prilaku lahiriah yang tidak terpuji. Untuk itu upaya agar membersihkan prilaku lahiriah harus diawali dengan membersihkan sifat-sifat batin yang tercela.
Menurut kaum sufi jiwa menjadi sumber keangkuhan dan kesombongan. Dalam hal ini Al-Muhasibi seorang sufi besar memberikan peringatan kepada kita akan bahaya tipu daya jiwa dan cara yang dipergunakan oleh jiwa.
Berasal dari bagian-bagian al-Qur’an yang mengacu pada jiwa kaitannya dengan sifat-sifat yang berbeda: jahat, menyalahkan dan berdamai dengan tuhan. Jika orang ingin mempelajari seluruh acuan pada jiwa dalam al-qur’an dan hadis dia pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa jiwa itu sendiri tidak mempunyai sifat-sifat khusus. Sebaliknya jiwa dari orang-orang yang berbeda mempunyai sifat-sifat yang berbeda dan jiwa-jiwa ini tidak berbeda dari realitas diri mereka sendiri. Teks-teks sufi sering kali menggambarkan jiwa ini sebagai dimensi batin dan realitas manusia yang memiliki sejumlah besar kemungkinan yang kebanyakan negatif.
Mengingat kenyataan bahwa kebanyakan orang sebagaimana sering kali dikatakan ghazali mengikuti kecendrungan-kecendrungan negatif dari jiwa, dan tidak mengherankan bahwa para sufi sering menggunakan istilah jiwa tanpa batas untuk mengacu pada yang menguasai kejahatan sejak masa-masa paling awal kita mendapati definisi-definisi tentang jiwa yang terutama memusatkan perhatian pada ciri-ciri watak yang tercela yang dapat dimilikinya dan menekankan kebalikannya pada sifat-sifat ruh, jika ruh itu pandai dan baik maka jiwa bodoh dan jahat.

Dinamika Jiwa
Salah satu pemikiran sufi adalah memetakan berbagai tahap atau kedudukan perkembangan rohani yang dicapai di jalan tuhan. Pada awalnya diri atau jiwa individual mempunyai sedikit kesamaan dengan ruh yang merupakan nafas tuhan.
Seorang manusia memiliki berbagai kecendrungan atau dimensi batiniah yang diwakili oleh jiwa, ruh, dan akal, tanpa dimensi-dimensi ini tidak mungkin ada masalah “perjuangan melawan diri sendiri” satu cara untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan diantara dimensi-dimensi ini dengan melihat kesadaran manusia yang ditempatkan pada satu poros vertikal yang menghubungkan dimensi realitas yang paling rendah (dunia) yang dapat dilihat dengan dimensi yang paling tinggi, tuhan yang tidak dapat dibandingkan.
Inilah gambaran statis dimana langit dan bumi saling berhubungan secara selaras pada setiap tingkat. Tuhan adalah langit, ruh adalah bumi, ruh adalah langit badan adalah bumi.ruh adalah langit, badan adalah bumi. Tetapi gambaran tentang individu manusia sebagai keselarasan mikrokosmik ini bersifat normatif. Ini menggambarkan hubungan ideal antara manusia dan tuhan, dengan mempertimbangkan semua tingkat perantaraan dari keselarasan dan pengalaman, atau semua sifat yang berbeda yang harus diaktualisaikan dengan cara-cara tertentu. Gambaran statis dan normatif dari mikro kosmos memberikan suatu model yang memungkinkan untuk membedakan antara bagaimana adanya dan bagaimana seharusnya.
Dari suatu sudut pandang tertentu segala sesuatu berada dalam tatanan sempurna meskipun ia berada di luar keseimbangan. Tuhan telah mengeluarkan perintah “jadilah” dan segala sesuatu muncul di tempat-tempat mereka yang semestinya. Tradisi menyebut perintah khusus ini, perintah kemunculan melalui perintah jadilah tuhan memunculkan segala sesuatu. Inilah nafas yang maha pengasih melalui mana tuhan mengucapkan setiap firmannya yang mungkin.
Melalui perintah ini tuhan mengatakan pada kita bahwa semua jalan tidak menuntun pada kebahagiaan dan bahwa setiap situasi tidak selalu memberi kondisi–kondisi optimum dari sudut pandang kita. Langit dan bumi mikrokosmos tidak dengan sendirinya seimbang, meskipun langit dan bumi mikrokosmos mengikuti tao. Untuk menempatkan langit dan bumi kita kembali pada keseimbangan, kita sebagai manusia sekaligus pelayan dan wakil tuhan harus mengubah pandangan dan kebiasaan kita.
Jika tidak ada ada kesengsaraan dan segala sesuatu itu sama-sama membahagiakan, kita tidak dapat membicarakan kebahagiaan. Kita juga bisa mengatakan bahwa segala sesuatu itu sama-sama sengsara. Pengalaman mengenai kebahagiaan tergantung pada adanya kesedihan. Segala sesuatu menjadi jelas melalui kebalikannya sebagaiman dikatakan rumi “jika kamu menulis dikertas hitam tulisan itu tidak akan kelihatan sebab keduanya sama-sam berwarna hitam”
Seperti sifat-sifat lainnya kebahagiaan mempunyai tingkatan-tingkatan dan semua itu terus berkurang sehingga tanpa terasa menyatu dengan kebalikannya yaitu kesengsaraan sebuah perkataan sufi menangkap soal itu dengan bagusnya dan mengatakan “kebahagiaan orang yang saleh adalah kesengsaraan orang-orang suci.” Sesuatu yang merupakan kebahagiaan dimata orang awam mungkin menjadi kendala dan kesedihan bagi orang yang berpengetahuan .
Perintah pemunculan memunculkan segala sesuatu, termasuk surga dan neraka, ia mengikuti hakikat tuhan sebagai realitas yang memahami seluruh sifat ontologis. Tuhan mencakup seluruh hubungan yang mungkin dengan mahkluk-mahklunya: kemustahilan untuk diperbandingkan dan kesamaan, kemurkaan dan belas kasih, kekerasan dan kelembutan, balas dendam dan ampunan, tangan kanan dan tangan kiri. Sifat-sifat ini harus ada sebab mereka adalah milik dari hakikat eksistensi itu sendiri. Sifat-sifat itu berakar dalam zat yang nyata dan segala sesuatu sebagaimana yang dikatakan pepatah arab, kembali pada akar dari mana dia tumbuh. Al-qur’an berkali-kali mengingatkan kita bahwa segala sesuatu kembali kepada Allah.
Di satu pihak jiwa-jiwa manusia ditempatkan pada poros vertikal yang menghubungkan mereka dengan yang nyata pada saat yang ditentukan. Di lain pihak mereka mengalami perubahan hubungan pada poros kedua yang horisontal yaitu poros sementara. Jika kita melihat pada setiap mikrokosmos dalam eksistensinya dari hari kehari kita tidak menemukan sesuatu apapun yang statis menyangkut hubungan diantara sifat-sifatnya yang tidak terlihat. Mereka berubah dari waktu ke waktu, perubahan-perubahan yang sangat besar ini dalam jangka panjang dapat di nilai dengan cara melacak lintasan jalan dari kelahiran hingga kematian.
Al-Qur’an sering kali mengingatkan tahap-tahap kehidupan manusia yang dimulai dari rahim, semua tahap awal berkaitan langsung dengan perintah pemunculan tuhan, ketika perkembangan manusia mencapai tahap dimana sudah sepantasnya membicarakan tentang tanggung jawab, perintah petunjuk mulai berperan. Perintah ini mempunyai hubungan dengan segala sesuatu yang menjadikan manusia benar-benar manusia.
Perintah petunjuk menempatkan hubungan yang diinginkan antara langit dan bumi, ruh dan jiwa, jiwa dan badan. Tujuannya adalah mengembalikan keselarasan diantara sifat-sifat yang ada di dalam diri dan akibatnya antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kemungkinan untuk mengacaukan keseimbangan antara langit dan bumi kembali pada kebebasan manusia karena manusia dibuat dalam citra tuhan sampai tahap tertentu mereka juga memiliki pilihan bebas sampai tahap itu mereka dapat menolak perintah petunjuk dan akan diminta pertanggung jawaban atas pilihan mereka.
Ketika mereka benar-benar menolak peranan mereka sebagai pelayan dari yang nyata, mereka mengacaukan hubungan kosmik yang selayaknya dengan jalan merebut hak-hak sebagai wakil untuk diri mereka sendiri, bukannya berserah diri pada kehendak tuhan mereka menolak petunjuk ilahi dan berusaha mengontrol nasib mereka sendiri. Di sini mereka tersesat sebab mereka tidak akan pernah dapat merebut kontrol dari yang nyata.
Keselarasan antara langit dan bumi, ruh dan jiwa, tuhan dan kosmos, dibangun ketika orang-orang menyeimbangkan dalam diri mereka sendiri kedua tangan tuhan, atau dua dimensi hakikat mereka sendiri. Seperti tuhan yang dari mereka citrakan, kedua dimensi dasar mereka adalah yang dan ying, aktifitas reseptivitas keagungan dan keindahan. Untuk menegakkan kembali hierarki normatif, sikap reseptif mereka harus terbuka terhadap petunjuk ilahi dan aktifitas mereka harus diarahkan melawan kesadaran terbatas mereka sendiri. Sifat pertama dikenal sebagai penyerahan dan penghambaan dan sifat kedua dikenal sebagai perjuangan. Inilah perang suci yang lebih besar ketika nabi ditanya apakah yang lebih besar dari pada perjuangan melawan orang-orang kafir? nabi menjawab ialah perjuangan melawan jiwa sendiri.

BAB III
KESIMPULAN

Jiwa merupakan bumi syahwat, cenderung kepada syahwat setelah melakukan syahwat, dan harapan setelah melakukan harapan. Jiwa tidak pernah tenang dan tak pernah diam, perbuatan-perbuatannya selalu berbeda, dimana perbuatan yang satu dengan yang lain tidak sama, terkadang jiwa berupa ‘ubudiyah dan terkadang berupa rububiyah, dan pada saat yang lain jiwa berlagak menyerah, dan pada suatu saat bersifat ingin memiliki.
Mayoritas sufi mengatakan bahwa jiwa merupakan sumber dan penyebab timbulnya akhlak yang tercela serta prilaku-prilaku yang hina atau perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan tercela. jiwa menjadi sumber keangkuhan dan kesombongan.
Mengingat kenyataan bahwa kebanyakan orang sebagaimana sering kali dikatakan ghazali mengikuti kecendrungan-kecendrungan negatif dari jiwa, dan tidak mengherankan bahwa para sufi sering menggunakan istilah jiwa tanpa batas untuk mengacu pada yang menguasai kejahatan sejak masa-masa paling awal kita mendapati definisi-definisi tentang jiwa yang terutama memusatkan perhatian pada ciri-ciri watak yang tercela yang dapat dimilikinya dan menekankan kebalikannya pada sifat-sifat ruh, jika ruh itu pandai dan baik maka jiwa bodoh dan jahat.
Seorang manusia memiliki berbagai kecendrungan atau dimensi batiniah yang diwakili oleh jiwa, ruh, dan akal, tanpa dimensi-dimensi ini tidak mungkin ada masalah perjuangan melawan diri sendiri satu cara untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan diantara dimensi-dimensi ini dengan melihat kesadaran manusia yang ditempatkan pada satu poros vertikal yang menghubungkan dimensi realitas yang paling rendah (dunia) yang dapat dilihat dengan dimensi yang paling tinggi, tuhan yang tidak dapat dibandingkan.
Perintah petunjuk menempatkan hubungan yang diinginkan antara langit dan bumi, ruh dan jiwa, jiwa dan badan. Tujuannya adalah mengembalikan keselarasan diantara sifat-sifat yang ada di dalam diri dan akibatnya antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kemungkinan untuk mengacaukan keseimbangan antara langit dan bumi kembali pada kebebasan manusia karena manusia dibuat dalam citra tuhan sampai tahap tertentu mereka juga memiliki pilihan bebas sampai tahap itu mereka dapat menolak perintah petunjuk dan akan diminta pertanggung jawaban atas pilihan mereka.




DAFTAR PUSTAKA

Ar risalah al qusyairiyah, jilid 1.
Sachiku, Murata. The Tao Of Islam, Mizan, Bandung, 1997.
Amir An-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, Jakarta, Pustaka Azzam, 2000.

0 komentar: