BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 14 Juni 2010

Kejelekan Jiwa

by : Khoirotun ft Farid















BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu pemikiran utama para sufi adalah memetakan berbagai tahap atau “kedudukan” (maqamat) perkembangan ruhani yang dicapai di jalan tuhan. Pada awalnya diri atau jiwa individual mempunyai sedikit kesamaan dengan ruh yang merupakan nafas Tuhan. Ia berdiri pada suatu tingkat ketidaksempurnaan yang berasal dari kecendrungan alamiah pada manusia kepada “kelupaan” (ghaflah), yang secara mistis diwakili oleh sisi negatif dari kejatuhan Adam. Wahyu muncul sebagai suatu pesan dari tuhan yang “mengingatkan” jiwa bahwa cahayanya sendiri menjadi saksi bagi suatu janji yang d buat Allah sebelum memasuki dunia ini. Begitu seseorang menerima pesan itu, dia masuk ke dalam sebuah jalan panjang perjuangan melawan kecendrungan-kecendrungan negative jiwa.
Ketika teks-teks sufi membayangkan jiwa sebagai sesuatu yang harus diubah, mereka secara khas menggambarkan suatu perkembangan melalui tiga tahap dengan mengacu terminoloi Al-Quran. Tahap yang paling rendah adalah “jiwa yang menguasai kejahatan” (al-nafs al-ammarah bi’l-su’), tahap selanjutnya, “jiwa yang menyalahkan” (al-nafs al-lawwamah), dan tahap terakhir, “jiwa yang damai” (al-nafs al-muthma’innah). Jelas demikianlah halnya dalam tiga tingkat jiwa itu: menguasaui kejahatan, menyalahkan, dan damai. Tujuan dari penjelasan-penjelasan itu adalah memungkinkan orang untuk dapat mengatasi kekuatan-kekuatan di dalam diri mereka sendiri dalam konteks perintah.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Kejelekan Jiwa
Ketiga tingkat jiwa dalam beberapa teks diperluas hingga empat atau lima berasal dari bagian-bagian Al-Quran yang mengacu pada jiwa dalam kaitannya sifat-sifat yang berbeda: jahat, menyalahkan, dan berdamai dengan Tuhan. Jika orang ingin mempelajari seluruh acuan pada jiwa dalam Al-Quran dan Hadis, dia pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa jiwa itu sendiri tidak mempunyai sifat-sifat khusus. Sebaliknya, jiwa dari orang-orang yang berbeda mempunyai sifat-sifat yang berbeda, dan jiwa-jiwa ini tidak berbeda dari realitas diri mereka sendiri.
Dalam konteks ini kaum sufi membagi perilaku maksiat jiwa menjadi dua bagian. Yang pertama, berbentuk perilaku maksiat, dan yang ke dua berbentuk perilaku tercela; seperti sombong, dengki, kikir, marah, hasud dan segala bentuk perilaku yang oleh akal maupun syara’ dipandang hina dan tercela.
1. Riya’ (sombong)
Penyakit yang sangat berbahaya bagi jiwa manusia yang sangat lemah adalah keinginan untuk melambung tinggi dengan mempergunakan madia penipuan dan kedustaan. Seorang yang mempunyai sifat Riya’ adalah orang yang menampilkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam batinya, dan itu merupakan bentuk kesyirikan. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya tingkatan Riya’ yang paling rendah termasuk syirik”. (HR Bukhari dan Muslim.
2. Al-Ghurur (Tipu Daya)
Al- Ghurur adalah rasa tenangnya jiwa terhadap perilaku yang sesuai dengan hawa nafsu, dan biasanya sifat ini cenderung berupa penipuan yang berasal dari setan. At- Tustari berpendapat bahwa Al Ghurur ini adalah setan, seperti yang dikatakan: “termasuk perilaku-perilaku setan adalah andai-andai dan Al Ghurur.” Dan lain sebagainya.
Perilaku maksiat menurut mereka dapat dihilangkan dengan banyak melakukan latihan (Ar-Riyadhah), dengan jalan bertaubat. Maksiat merupakan indikasai akhlak lahiriyah yang tercela. Sedangkan sifat-sifat di atas merupakan indikasi batiniah dari perilku jiwa yang rendah. Segala apa yang tersirat di dalam batin manusia akan timbul ke permukaan. Seperti halnya perilaku batin yang tercela akan keluar dalam bentuk perilaku lahiriah yang tidak terpiji. Untuk itu, upaya agar membersihkan perilaku lahiriah harus diawali dengan membersihkan sifat-sifat batin yang tercelah.
Sebagian dari kaum sufi ada yang membagi jiwa menjadi empat bagian, yaitu:
1. Jiwa yang memiliki sifat Ar-Rububiyah, seperti keagungan, pemaksaan, senang terhadap pujian, kemuliaan, kekayaan dan sebagainya.
2. Jiwa yang memiliki muatan setan; seperti penipu, selalu mencari kesalahan orang lain, hasud, burunk sangka dan sebagainya.
3. Jiwa yang memiliki muatan sifat binatang; seperti suka makan, minum, suka kawin, dan sebagainya.
4. Jiwa yang memiliki muatan sifat ‘ubudiyah; seperti rasa takut, tawadhu’, rendah hati dan sebagainya.
Teks-teks sufi seringkali menggambarkan jiwa ini sebagai dimensi batin dari realitas manusia yang memiliki sejumlah besar kemungkinan, yang kebanyakan negatif. Abu Thalib Al-Makki, memberikan suatu contoh awal tentang pendekatan ini: “jiwa itu dirundung empat sifat yang berbeda. Yang pertama adalah makna dari sifat-sifat kebesaran (rububiyah). Ia juga dirundung ciri-ciri watak dari syetan. Dan ia juga dirundung perangai hewan. Dan dengan semua ini, ia juga dianngap bertanggung jawab atas sifat-sifat para hamba.
Mengingat kenyataan bahwa kebanyakan orang, sebagaimana sering kali dikatakan Ghazali. Mengikuti kecendrungan-kecendrungan negatif dari jiwa, tidak mengherankan bahwa para sufi sering menggunakan istilah jiwa tanpa batas untuk mengacu pada jiwa yang menguasai kejahatan. Jadi sejak masa-masa paling awal kita mendapat definisi-definisi tentang jiwa yang terutama memusatkan perhatian pada ciri-ciri watak yang tercela yang dapat dimilikinya dan menekankan kebalikannya pada sifat-sifat ruh. Jika ruh itu pandai dan baik, maka jiwa itu bodoh dan jahat.
Abu ‘abd Al-Rahman Al-Sulami, ia membuat sebuah risalah pendek mengenai “cacat-cacat (‘uyub) jiwa dan penyembuhannya”. Meskipun dia memulai dengan suatu penjelasan ringkas tentang tiga tingkat dasar jiwa yakni: menguasai kejahatan, menyalahkan, dan damai. Dia membatasi dirinya hanya pada pembahasan tentang jiwa yang menguasai kejahatan. Dia menggambarkan tujuh puluh cirri-ciri watak negatif yang tertanam dalam jiwa dan menjelasakan bagaimana cara mengatasinya.
Dalam Masyrab Al-Arwah, Ruzbihan membahas “pengetahuan sejati dari jiwa” sebagai berikut: jiwa adalah alat kekerasan Tuhan. Darinya timbul segala kejahatan dan kerusakan. Tuhan berfirman:
dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. 12:53)

Dalam esensinya jiwa itu terdiri atas sifat-sifat kekerasan dan siap untuk menerima ilham kejahatan. Tuhan berfirman:

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. 91: 7-8)

Dia yang meneliti pakaian dari kekerasan abadi yang dipakai oleh jiwa akan mengetahui yang nyata dalam sifat yang tak terkalahkan, tak tertembus,Agung, dan besar. Nabi berkata:“Barang siapa mengenal jiwanya sendiri pasti mengenal Tuhanya”. Salah seorang syeikh berkata, “jiwa tidak menyatakan kebenaran dan hati tidak berdusta”. Ahli makrifat berkata, “jiwa adalah wahyu dan pemikiran tersembunyi tentang kekerasan yang datang kepada orang dari cakrawala penipuan dan abadi.”

B. Ciri-ciri watak yang berlawanan
Akhlah adalah bentuk jamak dari khuluk dan secara harfiah berarti “cirri-ciri watak”. Ini bisa bail atau buruk, terpuji atau tercela. Yang baik dan yang buruk secara umum dianggap sebagai kebalikan, sebagaimana yang kita lihat dalam ulasan-ulasan Imam Ja’far Al-Shadiq mengenai prajurit-prajurit akal dan kebodohan yang berlawanan.
Ketika ruh dipandang sebagai yang bercahaya dan jiwa sebagai yang gelap, maka ciri-ciri watak yang terpuji dimiliki oleh sisi yang bercahaya, dan ciri-ciri watak yang tercela dimiliki oleh sisi gelap. Jiwa yang menguasai kejahatan, seorang teman setan mendorong orang pada kekikiran. Ia mengikuti kegelapan dan bukannya cahaya. Ia mengemukakan dengan tipu dayanya yang telah melekat pada dirinya bahwa kedermawanan akan menuntun pada kemiskinan dan harus dihindarkan.
Ghazali memandang diri manusia sebagai terdiri dari kecendrungan-kecendrungan atau sifat-sifat berlainan yang harus diseimbangkan (I’tidal) sebelum manusia dapat mencapai kesempurnaan yang merupakan tujuan penciptaan mereka. Ghazali mengacu pada dua kecendrungan utama manusia sebagai yang bersifat “ketuhanan” (rabbani) dan “kesetanan” (syaythani). Yang pertama naik dan yang kedua turun, yang pertama adalah akal, yang menarik kearah Tuhan. Inilah cahaya batiniyah yang mengakui ajaran para Nabi sebagai yang hakiki. Kecendrungan syetan bergerak meninggalkan Tuhan dan berusaha untuk menyibukkan jiwa dengan dunia luar. Ia menjelmakan sifat ilahi, penyesatan, dan menarik kearah kesengsaraan. Selama kecendrungan setan berkuasa, individu akan tetap berada pada tahap jiwa yang menguasaio kejahatan. Inilah keadaan kebanyakan orang, yang dikuasai oleh kelalaian. Jika kecendrungan naik itu meningklat, maka jiwa pada akhirnya mencapai tahap kedamaian bersama Tuhan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, jiwa mempunyai dua kecendrungan lain yang pada dasarnya bersifat menyebar. Yang satu adalah nafsu, kekuatan jiwa yang berusaha untuk mencapai segala sesuatu yang diperlukan untuk bertahan. Yang satunya lagi adalah kemarahan. Kekuatan jiwa untuk menangkis segala sesuatu yang merugikan dalam usaha untuk bertahan. Dalam menjelaskan soal-soal ini dengan suatu analogi, Ghazali mewujudkan keempat kecendrungan itu sebagai seorang yang bijak (akal), setan, seekor babi (nafsu), dan seekor anjing (kemarahan). Pada awalnya, dia menggambarkan babi dan anjing dalam pengertian yang sama sekali negatif.
Teks-teks sufi sering menggambarkan kecendrungan-kecendrungan negatif jiwa dalam pengertian cirri-ciri watak hewan. Sam’ani sangat khas dalam hal ini:
“ Wahai darwisy, manusia di beri tempat suatu ancaman: dalam satu saat, dia mencapai tingkatan Jibril dan Mikail. Namun, dia melampaui mereka. Dan melalui satu pemikiran dia menjadi seekor anjing atau seekor babi. Jika dia melangkah maju sesuai dengan pengetahuan dan akal, maka kita akan mendapati seorang malaikat yang mulia:

Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia." (QS. 12:31)

Jika dia mengikuti nafsunya dan menjadikan hatinya ambang pintu setan, maka kita akan mendapati seekor hewan buas yang tak berharga. Dia mungkin rakus seperti seekor babi, penjilat seperti seekor kucing, pendendam seperti seekor unta, pongah seperti macan kumbang, penuh rahasia seperti seekor rubah, keji seperti seekor anjing.

dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. 7:176)


KESIMPULAN

• Bahwa para sufi sering menggunakan istilah jiwa tanpa batas untuk mengacu pada jiwa yang menguasai kejahatan.
• Kaum sufi membagi perilaku maksiat jiwa menjadi dua bagian. Yang pertama, berbentuk perilaku maksiat, dan yang ke dua berbentuk perilaku tercela; seperti sombong, dengki, kikir, marah, hasud dan segala bentuk perilaku yang oleh akal maupun syara’ dipandang hina dan tercela.
• Teks-teks sufi sering menggambarkan kecendrungan-kecendrungan negatif jiwa dalam pengertian cirri-ciri watak hewan. Seperti; Dia mungkin rakus seperti seekor babi, penjilat seperti seekor kucing, pendendam seperti seekor unta, pongah seperti macan kumbang, penuh rahasia seperti seekor rubah, keji seperti seekor anjing.

DAFTAR PUSTAKA

Annemarie Schimmel, The Tao Of Islam, Bandung, Mizan, 1996.
Abdullah bin Husain bin Thahir, Mencapai Jiwa Yang Tentram, Bndung, Pustaka Hidayah, 2002.
Muhammad Mahdi bin Abi Dzar Al-Naraqi, Penghimpum Kebahagiaan, Bndung, Mizan, 1993.
DR. Amiran Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, 2004.

0 komentar: