Oleh: Suhermanto Ja’far
Banyak antropolog yang telah mencoba mendefinisikan kebudayaan. Permasalahannya adalah adanya anggapan bahwa kebudayaan semata-mata warisan dimana suatu masyarakat tertentu berbagi. Definisi tersebut tentu saja terlampau luas dan tidak meletakkan manusia pada porsi yang sebenarnya. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menyempitkan konsep kebudayaan yang terlampau luas tersebut.
Pemikiran tentang kebudayaan dapat dibagi menjadi empat domain: kebudayaan sebagai sistem adaptasi, kebudayaan sebagai sistem gagasan, kebudayaan sebagai struktur, dan kebudayaan sebagai sistem simbolik. sekarang ada baiknya kita kaji satu persatu dari keempat pemikiran tersebut.
Kebudayaan sebagai sistem adaptasi
Kebudayaan dipahami sebagai daya adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Pertemuan antara manusia dengan alam menghasilkan teknologi yang terutama diperuntukan demi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Pengetahuan yang dimiliki manusia bertitik tolak dari upaya manusia memanfaatkan alam. Pengetahuan tersebut berbeda-beda derajatnya tergantung dari tingkat kompleksitas kognitif manusia. Kebudayaan manusia ditentukan semata-mata oleh lingkungan sekitar manusia itu tinggal. Dari sudut pandang kebudayaan sebagai sistem adaptasi masyarakat pesisir dengan masyarakat pedalaman jelas akan memilki kebudayaan yang berbeda karena lingkungan mereka berbeda. Singkatnya, kebudayaan sebagai sistem adaptasi menganggap gagasan manusia merupakan cerminan dari lingkungan tempat ia tinggal.
Kebudayaan sebagai sistem gagasan
Kebudayaan sebagai sistem kognitif
Kebudayaan dipahami sebagai sistem pengetahuan dimana kebudayaan bukan lagi dipandang sebagai fenomena materi yang terdiri dari benda-benda, manusia, perilaku, dan emosi. Kebudayaan lebih sebagai pengorganisasian materi-materi tersebut. ia adalah bentuk-bentuk ide dari materi yang ada di benak manusia yang menjadi model bagi mereka untuk mempersepsi, menghubungkan, dan menginterpretasi mereka. Kebudayaan sebagai sistem kognitif berada pada realm yang sama dengan bahasa. bahasa adalah subsistem dari kebudayaan, dan para peneliti dari antropologi kognitif telah berharap dan berasumsi bahwa metode linguistik akan cocok untuk diterapkan pada realm kebudayaan lainnya. Fokus para peneliti lebih pada sistem gagasan yang melatar belakangi suatu kebudayaan bukan lagi pada materi.
Kebudayaan sebagai struktur
Kebudayaan dipahami sebagai sistem simbolik bersama yang merupakan kreasi kumulatif dari pikiran. Para antropolog strukturalis meyakini adanya struktur yang tetap a-historis yang melatarbelakangi berbagai kebudayaan yang amat bervariasi. Realitas eksternal (nature) tak pernah independen dari pikiran manusia. Pikiran manusia menerapkan struktur / pola formal yang sama (oposisi biner) pada realitas walau diwujudkan dalam wujud yang bisa bermacam-macam.
Kebudayaan sebagai sistem simbolik
Kebudayaan dipahami sebagai unik, kaya makna, dan proses konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan tidak lagi dilihat sebagai struktur ataupun proses kognitif melainkan suatu teks. Manusia dipandang bukan lagi sebagai obyek dari kebudayaan melainkan agen yang aktif memaknai simbol-simbol seperti mitos, ritual danlain-lain. Pola-pola kultural bukan lagi suatu sistem yang terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari aktif terlibat dalam sistem-sistem simbol. Sistem-sistem simbolik selalu berada pada konteks, ruang, dan waktu tertentu. Sistem-sistem simbolik merupakan suatu permainan bahasa yang unik dan tak pernah bisa diuniversalisasikan
Secara singkat, kebudayaan sebagai sistem adaptasi (kebudayaan materi) memandang kebudayaan sebagai benda dimana diberlakukan keterukuran, pengamatan, dan keterbandingan. Materi diyakini mampu mengungkapkan perilaku manusia. Gagasan manusia tidak pernah bisa lepas dari praksis material. Sebaliknya, kebudayaan sebagai sistem gagasan meyakini kebudayaan tidak semata-mata sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan melainkan sebagai simbol. Simbol dimaksudkan bahwa tindakan manusia tidak semata-mata ditentukan oleh lingkungan khususnya pemenuhan kebutuhan. Tindakan manusia merupakan suatu yang khas dan unik. Proses pengungkapan makna suatu kebudayaan tidak bisa melalui pengamatan semata-mata melainkan interpretasi. Interpretasi merupakan metode yang digunakan oleh para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan
Kebudayaan sebagai sistem adaptasi mereduksi kebudayaan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia saja (subsisten). Ia melihat kebudayaan sebagai pengetahuan dan strategi mengenai lingkungan dan cara-cara memenuhi kebutuhan hidup darinya. Para antropolog kebudayaan materi menfokuskan perhatian pada sistem-sistem sosiokultural, bagaimana mereka terbentuk dan berubah.
Penganut kebudayaan sebagai sistem gagasan menyebut kebudayaan materi (sistem adaptasi) sebagai reduksi kognitif. Hal itu disebabkan para antropolog kebudayaan materi mereduksi kognisi manusia semata-mata ditentukan oleh kebutuhan material. Walaupun demikian kebudayaan sebagai sistem gagasan tetap memiliki masalah dan paradoks. Para antropolog kebudayaan sebagai sistem gagasan masih menganggap bahwa pola-pola kultural terkristalisasi dalam suatu struktur sosial. Kebudayaan adalah pikiran, perllaku yang terinstitusionalisasi, terstandardisasi yang baik secara eksplisit maupun implisit individu-individu dalam suatu masyarakat cenderung menyesuaikan diri. Clifford Geertz Mengatakan bahwa kebudayaan terletak di antara individu dan bukan di benak individu.
Keesing setuju dengan pendapat antropolog yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan. Namun demikian ia tetap tidak bisa menerima dilepaskannya suatu makna kultural dari kehidupan sehari-hari pelakunya. Ia mengingatkan bahwa para antropolog masih berkutat pada competence dan belum menyentuh performance kebudayaan. Ia menolak anggapan bahwa studi terhadap kebudayaan bisa dimurnikan (uncontaminated) dari studi sosiologis dan ekologis yang melatarbelakangi tindakan manusia.
|
(Dilarang memperbanyak tulisan ini tanpa seijindosen pengampu)
0 komentar:
Posting Komentar