BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 14 Juni 2010

jiwa dan cahaya ilahiyah (adam, hawa dan iblis)

by : saada_abadi ft Hodri


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam kondisi normal, jiwa siap menerima cahaya yang datang dari ruh, melalui penerimaan ini, jiwa menjadi bercahaya dan berubah menjadi suatu zat ruhani dan saat itu jiwa naik dari dunia kegelapan menuju dunia cahaya, kecenderungan pengertian istilah jiwa adalah kondisi saat ia turun kedalam dunia kegelapan dan bersifat bodoh dan jahat. Hal ini merupakan akibat dari ketidakmampuan jiwa untuk melihat cahaya, jadi sensor penerimaan yang ada pada dirinya sudah tidak berfungi atau tertutup oleh kerak kebodohan dan dia puas dengan batasan-batasannya sendiri, yang menghalang-halangi jiwa untuk memperoleh cahaya ilahiyah adalah setan.
Jiwa jika dikontraskan dengan ruh dia adalah merupakan dimensi yang paling jauh dari cahaya tuhan. Sementara ruh cukup dekat dengan tuhan sehingga dapat dianggap ruh mempunyai cahaya sendiri padahal itu hanya seolah-olah seperti ibarat ruh adalah bulan yang dapat menerima cahaya matahari dan dengan cahaya pantulannya itu dia dapat menerangi bumi, atau dengan kata lain karena pantulan cahaya ilahiyah itu ruh dapat menerangi jiwa. Jiwa sebenarnya mempunyai sisi positif tidak hanya mempunyai sisi negatif yang sering kita dengar. Selama ia jauh dari pusat kosmos yang bercahaya maka ia tetap gelap dan bodoh dan selama ia tidak menyadari kegelapannya sendiri dan tidak berusaha untuk mengatasinya ia tetap menjadi dimensi yang negative terhadap manusia.
Kemudian hubungan kisah mitos Adam dan Hawa dengan jiwa
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah" (Al-A’raaf : 12)
(dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua Termasuk orang-orang yang zalim."
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". (Al-A’raaf : 19-20)
Sungguh sangat menarik jika ayat diatas diberi penjelasan mengenai psikologi dan filsafat tasawuf sehingga Adam itu disejajarkan dengan Hati, Hawa dengan Jiwa dan Iblis dengan Intuisi Indrawi. Dan ternyata ayat tersebut terdapat hubungan yang erat dengan proses jiwa mendapatkan cahaya ilahiyah. Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas hubungan ayat diatas dengan proses jiwa dalam mendapatkan cahaya ilahiyah.

B. Alasan Memilih Judul
Pemilihan masalah makalah ini karena adanya hubungan yang perlu dikaji antara jiwa dengan mitos Adam, Hawa dan Iblis.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang permasalahan yang terdapat dalam bagian terdahulu maka dapatlah disusun beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apakah pengertian Jiwa ?
2. Mengapa Terjadi Mitos Adam, Hawa dan Iblis ?
3. Bagaimana Hubungan Mitos Adam, Hawa dan Iblis dengan Proses Jiwa dalam menerima Cahaya Ilahiyah ?

D. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti ujian akhir semester empat
2. Tujuan Khusus
Untuk mengungkapkan dan menerangkan beberapa hal antara lain :
a. Mengetahui Pengertian pengertian Jiwa.
b. Mengetahui Penyebab Terjadi Mitos Adam, Hawa dan Iblis.
c. Mengetahui Pandangan para ahli tentang hubungan Mitos Adam, Hawa dan Iblis dengan Proses Jiwa dalam menerima Cahaya Ilahiyah.

E. Manfaat Pembuatan Makalah
a. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan tentang hubungan Mitos Adam, Hawa dan Iblis dengan Proses Jiwa dalam menerima Cahaya Ilahiyah.
b. Bagi Pembaca
Dapat memberi gambaran bagaimana Proses Jiwa dalam memperoleh cahaya Ilahiyah dengan hubungannya terhadap Mitos Adam, Hawa dan Iblis.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Jiwa dan Cahaya Ilahiyah

Jiwa nafs seringkali disamakan dengan ruh, dan jikalau ada yang membedakannya itu hanya karena tingkatan-tingkatannya saja, dan hal seperti itu menunjukkan bahwa suatu realitas tunggal dapat dilihat dari segi dimensi batin manusia, mereka memiliki berbagai sifat dan bagaimana sifat-sifat ini mewujudkan diri mereka dengan cara berbeda-beda. Dan sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa jiwa adalah ruh setelah bersatu dengan jasad.
Tidak ada suatu definisi pasti yang menjelaskan tentang jiwa dan ruh ini tetapi untuk lebih memahaminya kita dapat membuat simbol-simbol beserta perannya, jika ruh diciptakan dari cahaya yang terpisah dengan badaniah ia merupakan suatu realitas tunggal dan sederhana, dan kebalikannya badan adalah terbuat dari tanah liat yang gelap sehingga antara ruh dan badan tidak ada kaitannya sama sekali, sedangkan adanya kehidupan maka badan harus di cahayai oleh roh, maka jiwa memiliki sifat-sifat dari kedua belah pihak yang menjadi perantara antara keduanya. pada satu sisi jiwa bisa menerima cahaya ruh tetapi disatu sisi jiwa gelap dan sesat.
Jiwa sangat mempengaruhi kegiatan badaniah manusia, bagaimana ciri-ciri, watak, maupun perbuatan terpuji atau tercela tergantung pada keterbukaan jiwa terhadap yang diatasnya, dan kenaikannya menuju dunia ruh. Karena pada dasarnya kecenderungan pada arah tinggi dan terhadap asal-usul yang bercahaya merupakan watak bawaan dari fitrah semua indra yang berkaitan dengan dunia Dominion.
Jiwa jika dikontraskan dengan ruh, maka ia merupakan dimensi dari realitas manusia yang paling jauh dari cahaya Tuhan, sementara ruh itu cukup dekat dengan cahaya, sehingga bisa dianggap memiliki cahayanya sendiri. Selama jiwa bisa menerima cahaya ruh, ia sepenuhnya positif. Namun selama ia jauh dari pusat kosmos yang bercahaya, ia gelap dan bodoh. Selama ia tidak menyadari kegelapannya sendiri dan tidak berusaha untuk mengatasinya, ia merupakan dimensi negatif dari orang itu. Dalam hal ini jiwa merupakan penghalang bagi kesempurnaan manusia dan dapat menuntun pada kesengsaraan. Jika dinilai secara negatif Jiwa dapat disebut dengan “jiwa yang menguasai kejahatan”.
Kasyani dalam mengulas al-Qu’ran secara esoterik, dia seringkali mengkontraskan ruh dan jiwa. Kadang-kadang ia memandang jiwa sebagai realitas yang baik dan positif, kadang-kadang sebagai realitas yang negatif, tergantung pada ayatnya. Wahyu muncul sebagai suatu pesan dari tuhan yang “mengingatkan” jiwa bahwa cahayanya sendiri menjadi saksi bagi suatu janji yang dibuat Allah sebelum memasuki dunia ini. Begitu seseorang menerima pesan itu, dia masuk ke dalam sebuah jalan panjang perjuangan melawan kecendrungan-kecendrungan negatif jiwa. upaya agar membersihkan perilaku lahiriah harus diawali dengan membersihkan sifat-sifat batin yang tercela.
Sebagaimana penjelasan dari makalah tema sebelumnya bahwa, Sebagian dari kaum sufi ada yang membagi jiwa menjadi empat bagian, yaitu: Jiwa yang memiliki sifat Ar-Rububiyah, Jiwa yang memiliki muatan setan, Jiwa yang memiliki muatan sifat binatang, dan Jiwa yang memiliki muatan sifat ‘ubudiyah. maka tingkatan jiwa seseorang dapat naik maupun turun dan itu tergantung pada banyak sedikitnya cahaya ilahiyah yang menyinarinya lewat ruh dan nasihat dari akal.
Dalam surat an-Nur ayat 35
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nur : 35)

B. Hubungan Jiwa dengan Mitos Adam, Hawa dan Iblis

Sebelum menciptakan adam Alloh memutuskan menempatkan khalifah di bumi, lalu dia menceritakan kepada malaikat dan mereka keberatan kemudian Alloh lengsung menjawab bahwa Dia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Menurut Sama’ani dalam buku Tasawuf dimata kaum sufi, Adam adalah manusia pertama yang sifat-sifat fundamentalnya diwarisi oleh semua manusia. Dan adam ditemani oleh Hawa yang diciptakan dari tulang rusuknya. Kemudian mereka berdua ditempatkan didalam surga.kemudian karena rayuan syetan akhirnya mereka berdua diturunkan ke bumi. Didalam mitos ini peran hawa tidak seberapa pengaruh dan jika terdapat dosa dapat dikatakan hawa hanya ikut apa kata adam, dalam hal ini bukan karena wanita diremehkan tetapi membahas hal itu hanya akan menimbulkan diferensiasi peranan gender.
Tafsiran Sama’ani menjelaskan Adam diciptakan dengan memperhatikan dua kategori dasar dari nama-nama Alloh yang Mahabaik dan penyayang, dan ketika adam masih berada didalam surga ia belum seutunya merealisasikan makna semua nama Alloh yang Alloh ajarkan kepadanya, dia hanya mengenal nama keindahan dan kasih sayang dan untuk mengenal nama kekuasaan dan amarah maka itu dapat dipahami saat Adam diturunkan ke Bumi. Selain Sama’ani mitos ini juga ditafsirkan Kasyani.
Penafsiran Kasyani atas mitos Adam dan Hawa sangat menarik. Dia membahas mikrokosmik Setan, iblis, dan hubungannya dengan jiwa. Dia menyamakan iblis dengan indra dari jiwa yang dikenal sebagai wahm, atau disebut juga intuisi inderawi. Manusia memiliki indra ini, demikian pula hewan. Menurut penjelasan yang biasa diberikan dalam teks-teks mengenai psikologi, intuisi indrawi memberikan suatu kesadaran cepat, namun kadang-kadang keliru, tentang keadaan non-indrawi dari suatu hal indrawi. Baik indra maupun imajinasi tidak dapat menangkap keadaan ini, entah benda itu ada atau tidak. Misalnya, intuisi indrawi memperingatkan kita tentang kenyataan bahwa sifat-sifat seperti kebencian, kebenaran, ketamakan dan kebaikan mungkin ada dalam diri seseorang atau seekor hewan. Sebagaimana dikemukakan Ibnu Sina, indra ini ”merasakan niat-niat non-indrawi yang ada dalam objek-objek indra individu, seperti indra yang melihat bahwa srigala itu harus dihindari dan anak itu harus dicintai.” bahwa intuisi indrawi dapat menangkap keadaan-keadaan tertentu dari jiwa seseorang, seperti cinta atau kebencian, tetapi ia tidak dapat memahami makna universal belas kasih dan dendam yang berkaitan dengan bidang ilahiah. Bagaimanapun juga, intuisi indrawi merupakan indra perantara antara akal dan persepsi indra. Jiwa yang dikuasai oleh intuisi indrawi memiliki suatu kecemerlangan tertentu dalam hubungannya dengan benda-benda jasmaniah tetapi sifatnya mendua dan tercampur seperti halnya api. Karena indra itu juga dimiliki oleh hewan, ia jelas berada pada urutan dibawah perenungan atau pemikiran (fikr), apalagi akal.
Kasyani tidak menganggap kejahatan moralistis berasal dari iblis mikrokosmik. Karena Intuisi indrawi mempunyai batasan-batasan dan ia tidak dapat melampauinya. Intuisi indrawi memainkan peranan positif dan diperlukan pada tingkatannya sendiri. Tetapi seperti nafsu dan kemarahan, ia harus dijaga agar tetap ditempatnya. Jika seseorang mengikuti intuisi indrawi bukan akal, dan iblis bukan para nabi, maka dia menjadi bodoh dan sesat, lalu akan berakhir dalam kesengsaraan. Kearifan nabi yang hanya ditangkap melalui akal, dan itulah yang dapat menuntun seseorang keluar dari keterbatasan jiwa hewani. Maka jika seseorang mengikuti apa yang dituntun nabi maka selamatlah jiwanya dari segala keburukan, karena nabi mengajarkan bagaimana membebaskan jiwa kita dari sifat-sifat hewaniah yang menjadi kecenderungannya saat tidak memperoleh cahaya ilahiyah, jika manusia bebas dari sesuatu yang mempengaruhinya terhadap keburukan maka ia memahami secara benar.
Seperti Ghazali, Kasyani menggunakan istilah hati untuk mengacu pada esensi dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusia, atau apa yang disebut para filosof, jiwa rasional. Maka dalam ta’wilnya, Adam itu disejajarkan dengan hati, Hawa dengan jiwa, dan Iblis dengan intuisi indrawi. Dalam Al-Qur’an Tuhan yang mensejajarkan dengan nama-nama Adam.
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqoroh : 31)

dapat diartikan bahwa Alloh memasukkan kedalam hati manusia ciri-ciri dari benda-benda serta manfaat-manfaat dan bahaya-bahayanya
dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqoroh : 34)

Ketika Kami katakan kepada para malaikat,”bersujudlah didepan Adam” sujud mereka didepannya merupakan penyerahan diri mereka kepadanya, pengakuan mereka sebagai yang lebih rendah dihadapannya, dan ketundukan mereka kepadanya. Maka mereka bersujud kecuali Iblis. Iblis adalah intuisi indrawi. Intuisi indrawi tidak dimiliki oleh para malaikat yang murni bersifat keduniawian dan terhijab dari persepsi makna oleh persepsi bentuk, atau ia dengan sendirinya akan mematuhi perintah Tuhan secara suka rela. ia bukan salah satu malaikat langit yang intelektif, atau ia akan memahami kemuliaan Adam. Ia akan sesuai dengan akal Adam dan suka rela menyerah kepadanya akibat cinta dan karena mencari ridha Tuhan. Intuisi indrawi adalah Jin. Dengan kata lain, ia berkaitan dengan Kerajaan yang lebih rendah dan indra-indra duniawi. Intuisi indrawi tumbuh dan dibesarkan diantara para malaikat langit karena kemampuan memahami makna-makna khusus dan kenaikannya menuju cakrawala akal. Maka pada diri hewan-hewan yang bisu, intuisi indrawi menggantikan akal yang dimiliki oleh manusia.
Intuisi indrawi menolak saat diperintah sujud sebab ia tidak menyerah pada akal dan bertahan untuk tidak menerima kekuatan yang menguasainya. Ia mengaku besar karena ia mengira dirinya lebih unggul dibanding benda-benda yang diciptakan dari lempung dan malaikat-malaikat langit dan bumi, sebab ia tidak dapat memahami batas-batasnya sendiri, yaitu kenyataan bahwa ia memahami makna-makna khusus yang berkaitan dengan objek-objek indrawi. Ia melanggaar kedudukannya sendiri dengan menilai makna-makna yang jelas dan aturan-aturan universal. Dia termasuk kaum kafir, mereka yang selamanya terhijab dari cahaya-cahaya ruhani yang terang, apalagi cahaya Keesaan.
dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqoroh : 35)

Kami berkata, “adam, tinggalah bersama istrimu di surga.” Istri hati itu adalah jiwa. Jiwa itu diibaratkan hawa’ (Hawa secara harfiah berarti “kecendrungan merah dan hitam”) sebab ia tidak terpisahkan dari badan yang gelap, dan huwwa adalah warna yang didominasi oleh hitam. dan hati itu disebut Adam (Adam, secara harfiah “terbubuhi warna hitam”) sebab ia terkait dengan badan melalui penjejakan (inthiba’ (yaitu dengan menjadi tercelup dalam perangai, thab’)), meskipun hati tidak dapat dipisahkan dari badan. Udma (dan akar yang sama dengan Adam) adalah warna coklat, atau warna yang cenderung pada hitam. Kalau bukan karena kelekatannya dengan badan, hati tidak akan disebut “terbubuhi warna hitam.”
Surga dimana mereka berdua diperintahkan untuk tinggal adalah langit dari Dunia Ruh, yaitu Padang Kesucian. Dan makanlah daripadanya apa yang kamu inginkan. Dapat diartikan Menyebarlah dan senangkanlah dirimu dalam menerima makna, ilmu, dan kearifan langit. itu semua adalah makanan bagi hati dan buah-buahan yang dimakan oleh ruh. Menyebarlah sampai batas manapun, hingga ke sembarang tingkat keadaan, dan kedudukan yang kamu kehendaki, sebab ia abadi, tidak terputus, tidak terlarang. Tetapi janganlah mendekati pohon itu sebab jika tidak kamu akan menjadi orang-orang yang dzalim (dzalimun), mereka yang meletakkan cahaya ditempat kegelapan (dzulma). Sebab kedzaliman (zulm) dalam penggunaan umum berarti meletakkan sesuatu ditempat yang salah, sementara secara harfiah berarti gagal dalam memenuhi hak dan kewajiban.
lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." . (QS. Al-Baqoroh : 36)

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu Kemudian setan mendorong mereka hingga tergelincir dari kedudukan mereka disurga menuju Jurang perangai dengan jalan merusak mereka dengan kenikmatan-kenikmatan jasmaniah dan menguasai mereka selamanya. Dan mengeluarkan mereka dari dari tempatnya, kebahagiaan dan istirahat.
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. Al-A’raaf : 12)

Dalam ayat ini iblis yang dikaitkan dengan sifat api. indrawi diciptakan dari bagian-bagian ruh hewan yang paling halus, Ia merupakan benda yang paling panas didalam tubuh, panas menuntut kenaikan dan peninggian diri.
Setiap indra dari Dunia Dominion mengawasi ciri-ciri dari apa yang ada di bawahnya, tetapi bukan apa yang di atasnya. Ia mengawasi kesempurnaan-kesempurnaan dan ciri-ciri ruh hewan. Karena intuisi indrawi itu terselubung dari ciri-ciri ruh dan hati manusia, penyelubungan ini mengambil bentuk penyangkalannya serta menyebabkan penolakan serta pernyataan akan kebesarannya. Ia melanggar bidangnya sendiri dengan membuat penilaian-penilaian mengenai makna-makna yang dapat dipahami dan benda-benda yang terpisah. Ia tidak mau menerima penilaian akal. Ini mengambil bentuk dalam penolakannya untuk bersujud.
Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang hina". (QS. Al-A’raaf : 13)

“tidak sepatutnya engkau menyombongkan diri disini.” Sebab brand kemuliaan disini berarti berlagak memiliki sifat-sifat diri yang sangat baik namun sesungguhnya tidak dimiliki. Kehadiran ruh yang seolah-olah dimiliki intuisi indrawi tidak akan dapat melampaui kedudukan akal. “maka pergilah” karena intuisi indrawi tidak pantas menerima kehadiran roh. Mereka lebih hebat. “sesungguhnya kamu termasuk kaum yang hina.” Salah satu indra jiwa yang tak terpisahkan dari arah yang rendah dan tetap berada dalam kerendahan karena terikat pada benda-benda badaniah.
Penjelasan al-Quran berlanjut dengan pengungkapan bagaimana Tuhan mengusir setan dan memberinya waktu hingga Hari Kebangkitan. Lalu Tuhan berfirman pada Adam, memerintahkannya untuk tinggal di Surga namun harus menghindari pohon itu.
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". (QS. Al-A’raaf : 20)

“Supaya mereka membukakan kemaluannya yang tertutup”. Dengan kata lain, setan ingin menyatakan pada mereka melalui kecenderungan mereka pada tabiat alamiah apa yang telah disembunyikan dari mereka kenapa mereka dipisahkan dari benda-benda alamiah, kenikmatan-kenikmatan badaniah, ciri watak yang hina, tindakan-tindakan hewani, dan sifat-sifat pemangsa dan binatang buas. Manusia merasa malu untuk menunjukkan semua ini dan tidak mau mengungkapkannya. Kejantanan mendorong mereka untuk menyembunyikannya, sebab semua itu adalah hal-hal yang memalukan dalam pandangan akal, maka mereka mencela dan memandangnya rendah.
Dia berkata, “Tuhan kalian melarang kalian mendekati pohon ini, tidak lain supaya kalian tidak menjadi malaikat, atau menjadi orang-orang yang kekal.” Dengan kata lain, iblis membuat mereka memiliki intuisi indrawi yang menyatu dengan perangai badaniah dan seakan-akan materi dapat memberi mereka kenikmatan, persepsi, dan tindakan-tindakan para malaikat serta orang-orang yang kekal.
dan Dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah Termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua",
Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS. Al-A’raaf : 21-22)

Dan Dia bersumpah pada mereka, “sungguh, aku adalah penasehat yang tulus bagi kalian berdua.” Maka dia menyebabkan kejatuhan mereka. Dia membuat mereka jatuh pada kelekatannya dengan tabiat alamiah dan tinggal didalamnya. Melalui tipu daya, sebab dia mengerahkan tipu daya pada mereka dengan pakaian penasehat yang tulus, dan membuat mereka memiliki intuisi indrawi, yaitu bahwa kenikmatan-kenikmatan badaniah dan penguasaan atas umat manusia yang dianggap kekal. Dia memikat mereka dengan keuntungan-keuntungan badan dan nafsu-nafsu jiwa.
Dan ketika mereka mencicipi pohon itu, dibukakanlah kemaluan mereka maka mereka meraih dedaunan surga untuk menutupi diri mereka. Dengan kata lain, mereka mulai menutupi kutukan tabiat alamiah melalui tata cara yang baik dan adat-istiadat yang indah. Semua ini berasal dari pendapat-pendapat akal dan merupakan kesimpulan-kesimpulan dari akal praktis. Mereka berusaha menyembunyikan kutukan-kutukan dengan muslihat-muslihat praktis.
Dan Tuhan memanggil mereka,“bukankah kalian telah Ku larang untuk mendekati pohon itu?” bentuk larangan itu telah ditetapkan secara tegas didalam akal yaitu kecenderungan untuk melepaskan diri (dari tabiat alamiah), pemahaman akan hal-hal yang dapat dipahami, dan penghindaran benda-benda materi dan inderawi. Dan Dia berfirman : sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata. yang di ilhamkan Tuhan pada akal, ia harus menentang aturan-aturan intuisi indrawi, menolak persepsi-persepsinya, dan melakukan tindakan yang bertentangan dengannya. “panggilan Tuhan pada mereka” dalam hal ini adalah bahwa mereka diberitahu tentang makna ini melalui ilham.
keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raaf : 23)

Mereka berkata, “Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri.” Ini karena didalam tabiat alamiah, jiwa rasional menjadi sadar akan ketidaksempurnaannya, Ia kini dihasut untuk mencari kesempurnaan dengan cara menjadi terpisah. “dan jika Engkau tidak mengampuni kami.” Dengan jalan memberi kami pengetahuan sejati, “kami akan berada diantara orang-orang yang sesat.” Yaitu mereka yang menyia-nyiakan kesiapan awal mereka, yaitu kebahagiaan dan penghidupan, dengan menggunakannya didunia pembinasaan. Dengan cara itu mereka tidak akan mampu mencapai kesempurnaan dengan menjadi terpisah sebab mereka terus bergantung pada ketidak sempurnaan Tabiat Alamiah.
Tuhan kemudian menurunkan Adam dan Hawa kedunia ini. Selanjutnya al-Quran menyeru pada anak-anak Adam, dengan mengatakan pada mereka kesimpulan-kesimpulan apa yang harus mereka tarik dari kisah tersebut. Tuhan telah mengirimkan “pakaian” untuk menutupi “kemaluan” mereka yang terbuka ketika Adam dan Hawa makan buah itu. Kemaluan mereka itu adalah ciri-ciri watak buruk yang tumbuh dalam jiwa rasional ketika ia menjadi lekat dengan dunia ini. Pakaian itu adalah hukum wahyu, syari’at, yang meluruskan ciri-ciri watak dan membawa jiwa menuju keselarasan dengan akal. Melalui tuntunan syari’at akal mampu memisahkan dirinya dari pembenaman dalam kegelapan tabiat alamiah, dan jiwa selanjutnya dapat mengikutinya. Akal merupakan dimensi mikrokosmos yang sejajar dengan para nabi dalam makrokosmos. Maka ciri yang melekat padanya adalah cahaya penuntun. Tapi ia dapat dibawa dari potensialitas menuju aktualitas penuh hanya jika seseorang mengikuti para nabi, menerima hukum wahyu, dan memiliki sikap pasrah seorang hamba.
Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’raaf : 26)

Alloh menurunkan syariat yang dapat menyembunyikan sifat-sifat buruk serta tindakan-tindakan yang tak senonoh, menghiasi manusia dengan ciri-ciri watak yang baik serta tindakan-tindakan yang baik. Sifat yang baik itu diantaranya sifat kesalehan dan terjaga dari sifat jiwa, oleh sebab itu syari’at merupakan akar dan landasan agama yang dapat menja manusia tetap dalam keadaan baik.
Menghindari sifat-sifat jiwa tidak akan dapat dicapai atau dimungkinkan kecuali jika pengungkapan diri dari sifat-sifat Tuhan menjadi terwujud. Kaum sufi menyinggung masalah ini dengan kata-kata mereka, “Tuhan tidak akan mengontrol apa pun dari hamba itu tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik dari jenisnya sendiri.” Barangkali ketika pengungkapan diri itu menjadi terwujud, manusia akan ingat, pakaian aslinya yang bercahaya, atau kedekatan Tuhan, dimana ia pernah tinggal melalui tuntunan cahaya dari sifat-sifat ilahi.
Dalam bagian lain dari ulasan itu, Kasyani mengingatkan intuisi indrawi pada sifat maskulin yang negatif dari jiwa. Dia menjelaskan Kesulitan akan membuat jiwa sadar terhadap keterbatasan dan kesempitan segala sesuatu yang rendah dan menyebabkannya mengalihkan aspirasinya ke atas. Dan Sebaliknya, kenikmatan akan menuntun pada kepuasan diri dan kesombongan. berbagai jenis masalah, seperti kesulitan, tekanan, dan macam-macam kesengsaraan, akan menghancurkan ketamakan jiwa, melembutkan hati dengan melepas hijab-hijab sifat jiwa negatif, menghaluskan kepadatan-kepadatan tabiat alamiah, dan menghilangkan bungkus-bungkus kebimbangan. Maka dalam keadaan sulit hati orang dibelokkan secara alamiah kepada asal-usul mereka, sebab disini mereka kembali kepada tuntutan-tuntutan fitrah pada kecemerlangan dan kapasitas bawaan mereka, dan cendrung pada kenaikan hilangnya penghalang. Menurut sama’ani rahasia cinta Adam adalah saat melihat dirinya sendiri tidak ada apa-apanya, pengenalan inilah yang disebut leh orang sufi kemiskinan.
Selama jiwa menguasai hati, intuisi indrawi akan menguasai akal. Maka setan pun berkuasa, sebab indra akal menjadi tawanan dalam belenggu intuisi indrawi, diperintah olehnya, dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya dan dipekerjakan untuk meraih harapan-harapannya. Harapan-harapan ini mendapatkan kenikmatan dari jiwa, melengkapinya dengan sarana dunia kotoran, dan menguatkan sifat-sifatnya dengan sarana dari dunia tabiat. Setan mempersiapkan materi kepuasan dengan sarana pemikiran reflektif. Maka hati menjadi terselubung oleh kerak dan tidak mampu menerima semua sifat Tuhan. Itulah makna dari firman-Nya, mereka membuat makar untuk menentang ayat-ayat kami. Katakanlah, “balasan makar Tuhan itu lebih cepat lagi.” Sebab Tuhan menyembunyikan kekejaman sejati didalam kelembutan lahiriah. Sementara itu Dia mempersiapkan hukuman “api” yaitu kerugian, “ular” yaitu kondisi-kondisi dari sifat-sifat yang hina, “kalajengking-kalajengking hitam” dan “pakaian dari getah” didalam belas kasih yang nyata.


BAB III
KESIMPULAN

Dalam kondisi normal, jiwa siap menerima cahaya yang datang dari ruh, melalui penerimaan ini, jiwa menjadi bercahaya dan berubah menjadi suatu zat ruhani dan saat itu jiwa naik dari dunia kegelapan menuju dunia cahaya. Selama jiwa bisa menerima cahaya ruh, ia sepenuhnya positif. Namun selama ia jauh dari pusat kosmos yang bercahaya, ia gelap dan bodoh. tingkatan jiwa seseorang dapat naik maupun turun dan itu tergantung pada banyak sedikitnya cahaya ilahiyah yang menyinarinya lewat ruh dan nasihat dari akal.
Sama’ani menjelaskan Adam diciptakan dengan memperhatikan dua kategori dasar dari nama-nama Alloh yang Mahabaik dan penyayang, dan ketika adam masih berada didalam surga ia belum seutunya merealisasikan makna semua nama Alloh yang Alloh ajarkan kepadanya, dia hanya mengenal nama keindahan dan kasih sayang dan untuk mengenal nama kekuasaan dan amarah maka itu dapat dipahami saat Adam diturunkan ke Bumi. Selain itu Penafsiran Kasyani atas mitos Adam dan Hawa sangat menarik. Dia membahas mikrokosmik Setan, iblis, dan hubungannya dengan jiwa. Dia menyamakan iblis dengan indra dari jiwa yang dikenal sebagai wahm, atau disebut juga intuisi inderawi. Manusia memiliki indra ini, demikian pula hewan. Adam itu disejajarkan dengan hati, Hawa dengan jiwa, dan Iblis dengan intuisi indrawi. Selama jiwa menguasai hati, intuisi indrawi akan menguasai akal. Maka setan pun berkuasa. Dan sebaliknya selama hati yang berkuasa maka menjadi terkendali. Kesulitan akan membuat jiwa sadar terhadap keterbatasan, Alloh menurunkan syariat merupakan akar dan landasan agama yang dapat menjaga manusia tetap dalam keadaan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 2000. Keajaiban-keajaiban Hati, ter. Muhammad Al-Baqir. Bandung : Karisma.
Chittick, Wiliam C. 2002. Tasawuf di Mata Kaum Sufi. Ter. Zainul Am. Bandung : Mizan.
Frager, Robert. 2002. Hati, diri, dan jiwa psikologi sufi untuk transformasi, ter. Hasmiyah Rauf. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Hawwa, Sa’id. 1998. Jalan Ruhani: Bimbingan Tasawuf Untuk Para Aktivis Islam. Ter. Khairul Rafie’ M. Bandung : Mizan.
Ibrahim, Rizal. 2003. Menghadirkan Hati : Panduan Menggapai Cinta Ilahi. Yogyakarta : Pustaka Sufi.
Murata, Sachiko. 1996. The Tao of Islam, ter. Rahmani Astuti. Bandung : Mizan.
Mustofa, Agus. 2005. Menyelam ke samudra jiwa dan ruh. Surabaya: Padma Press.



1 komentar:

Sa'ada Dyah mengatakan...

WHEHEHEHEHE TES